ITB Gelar Diskusi Mengenal Filsafat dalam Arsitektur

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id – Staf pengajar dan peneliti di lingkungan Kelompok Keahlian (KK) Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur (STKA), Sekolah Arsitektur, Perencaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (SAPPK – ITB) menggelar diskusi terbuka mengenai filsafat dalam arsitektur.

Diskusi tersebut diselenggarakan sebagai tempat bagi masyarakat kampus untuk lebih berkenalan dengan kajian di bidang sejarah teori dan kritik arsitektur dalam “Diskusi Terbuka STKAday2” di Ruang Seminar Labtek IX-A Sugijanto Soegijoko, ITB. Acara yang diselenggarakan pada 8 September 2018 ini merupakan lanjutan dari “Diseminasi Hasil Program Penelitian, Pengabdian Masyarakan dan Inovasi (P3MI) STKAday1” pada 6 April 2018 lalu. 

Pada STKAday1, delapan dosen yang tergabung dalam KK STKA memaparkan karya terbaik mereka yang telah dipublikasikan dalam riset dan pengabdian kepada masyarakat dalam dua tahun terakhir. Setelah melihat antusiasme masyarakat yang cukup besar, STKA kembali diselenggarakan dengan cakupan yang lebih luas yaitu untuk menjadi wahana bertemunya para peminat bidang kajian STKA. 

Diskusi yang dihadiri peserta dari berbagai program studi dan dari berbagai universitas ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian arsitek terhadap filsafat. “Selama ini pendidikan kita terlalu rigid, acara ini diharapkan dapat memperluas wawasan, sehingga mahasiswa dapat mengembangkan minatnya,” papar Prof. Ir. Iwan Sudradjat M. SA., PhD., yang merupakan ketua dari KK STKA.

STKA sebagai salah satu dari sembilan KK yang ada di SAPPK-ITB mengundang empat pemrasaran untuk memaparkan gagasan empat filsuf yang memiliki persinggungan dengan isu-isu arsitektur kontemporer dan utopia/distopia arsitektur masa depan. Mereka adalah Martin Katoppo yang memaparkan gagasan Friedrich Wilhelm Nietzche, Achmad Deni Tardiyana memaparkan gagasan Deleuze & Guattari, Widya Suryadini memaparkan gagasan Luce Irigaray, dan Iwan Sudradjat memaparkan gagasan Michel Foucault.

Acara yang dipandu oleh dua orang moderator, Indah Widiastuti dan Mahatmanto serta dua orang pembahas Bambang Sugiharto dan Yuswadi Saliya ini menyadarkan kepada para peserta diskusi bahwa karya arsitektur seharusnya bukan hanya tentang perhitungan, tapi harus juga melibatkan wawasan dan perasaan.

Salah satu pemrasaran yang juga merupakan lulusan terbaik dari Arsitektur Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Magister Arsitektur ITB, Dr. Martin L. Katoppo S.T., M.T., memperkenalkan pemikiran dari salah satu filsuf yaitu Nietzche yang kecewa karena melihat gedung-gedung yang didirikan pada masa itu telah kehilangan “ruh”-nya. Menurutnya, seorang arsitek, semestinya dapat menghadirkan karya yang menampakkan kebanggaan dan keindahan, suatu karya yang mampu membuat manusia nyaman untuk tinggal disana. 

“Karena arsitektur bukan fisik tapi aktivitas, dan karenanya arsitektur bukan membangun ruang, bahkan bukan juga membangun pengalaman meruang, melainkan membangun perasaan seseorang saat meruang,” tutur Martin, yang juga merupakan pendiri komunitas desain yang dinamai ‘Design as Generator’ ini.

Martin selanjutnya menyebutkan bahwa arsitektur sejatinya merupakan ilmu menata lingkungan binaan yang harus membebaskan dan memberdayakan. Menghadirkan karya arsitektur adalah menghadirkan ruang kreatif yang mampu memantik imajinasi personal, mampu memproduksi pengetahuan bersama dan mampu mendorong munculnya inovasi demi terjadinya perubahan sosial.

Reporter: Indah Dwi Rachmawati