Presiden Keluarga Mahasiswa ITB tentang Djoko Santoso Anas Hanafi: Sejalan Tapi Tetap dalam Posisi Kritis
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Bagi Anas Hanafi, Presiden Keluarga Mahasiswa (KM) ITB, sosok Prof. Djoko Santoso, Rektor ITB 2005-2010, sudah tidak asing lagi. Posisi Anas sebagai salah satu anggota Majelis Wali Amanah (MWA) ITB terutama, sebagai Presiden KM ITB membuatnya kerap berhubungan dengan Pak Djoko yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Senat Akademik (SA) ITB. “Saya rasa, Pak Djoko itu sosok yang kritis,” ungkap Anas mengingat mereka kerap berhubungan dalam kerangka mengawasi kinerja Rektor ITB saat itu, Kusmayanto Kadiman. Dalam kepemimpinan Pak Djoko, SA pernah mengirimkan laporan kritis ke Mendiknas mengenai kinerja MWA dan Kusmayanto Kadiman.
Ketika calon rektor sudah mengkerucut menjadi tiga calon, yaitu Adang Surahman, Djoko Santoso, dan Satryo Sumantri, Anas, sebagai wakil mahasiswa ITB telah menyerahkan Gentleman’s Agreement isinya tujuh poin tugas-tugas yang harus dilakukan oleh rektor terpilih. Gentleman’s Agreement ini berperan sebagai semacam kontrak.yang berlaku sampai lima tahun mendatang. “Kami belajar dari pengalaman,” ujar Anas, “di awal-awal (masa kempimpinan) bisa saja berkomitmen, tapi selanjutnya?” Dua dari tiga calon bersedia setuju terhadap Gentleman’s Agreement yaitu Djoko Santoso dan Adang Surahman. “Jadi, siapapun yang jadi rektor di antara keduanya, sebenarnya kami nothing to loose.”
Menurut Anas, Pak Djoko bangga dengan perannya sebagai seorang pengajar. “Pak Djoko sering kali bilang ‘saya ini hanya seorang guru.’” Dari situ, Anas berharap Pak Djoko mampu menempatkan kembali ITB sebagai source of value. “Karena value inilah yang menjadi kekuatan ITB, bukan keluasan jaringanya, bukan bangunannya,” tandas Anas. Kenyataannya, ruh akademik ITB dinilai sudah turun. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Yang perlu diwaspadai terhadap kepemimpinan Pak Djoko, bisa jadi karena karakter beliau, terjadi stagnasi. Menurut Anas, kekhawatirannya Pak Djoko bisa menjadi anti-tesis kepemimpinannya Pak Kusmayanto yang revolusioner dan terlalu visioner. ITB bisa terjadi malah jadi stagnan; berkutat pada masalah-masalah internal dalam kampus, atau berkutat pada paradigmanya sendiri, misalnya. Yang bisa dibenahi adalah memperkuat karakter visioner dan leadership Pak Djoko untuk membawa ITB ke arah yang lebih baik. Ini penting karena memang seharusnya agenda visioner (jangka panjang) seimbang dengan fundamen-fundamen yang selama ini dijunjung masyarakat ITB. “Itu tantangannya!” tandas Anas.
Menghadapi kelemahan-kelemahan itu, bagi Anas, elemen-elemen ITB lainnya harus berperan sebagai pelengkap. “Selain Rektor, pilar ITB kan masih ada Majelis Wali Amanah, Senat Akademik, dan Majelis Guru Besar (MGB). Di luar itu juga masih ada mahasiswa yang “berdiri diluar” -tidak terikat peraturan yang ada,” ujar Anas. Elemen-elemen itulah yang harus menjadi pelengkap dan menyeimbangkan, sehingga ITB bisa maju.
Mengenai peran mahasiswa, secara khusus, Anas berpendapat bahwa mahasiswa ITB, yang terhimpun dalam Keluarga Mahasiswa ITB akan tetap mendukung program-program Pak Djoko ITB dalam posisi kritis. Namun, sebagai badan yang otonom –bukan subordinat eksekutif ITB- KM akan berada ‘di luar’ lingkaran Eksekutif, MWA, SA, dan MGB. “Mahasiwa tentu akan sejalan dan mendukung, tapi tetap dalam posisi yang kritis,” tandasnya.
Bagaimanapun juga, Pak Djoko harus diberi kesempatan untuk membangun ITB, mewujudkan program-programnya, menyusun kabinetnya, menciptakan kultur baru. “Sebagai pihak yang punya posisi kritis, kalau ada yang menyimpang ya kita tegur,” ungkap Anas, “Kan kita punya wakil di MWA, walaupun hanya satu dan itu pun Presiden KM sendiri.” Selain itu, menurut Anas, mahasiswa masih tetap punya kekuatan opini, utamanya, melalui media. “Di media, kemarin, komentar-komentar MGB dan MWA selalu disandingkan dengan komentar mahasiswa (melalui KM -red.) kan?”
krisna murti
30/01/05 11.23pm