Kolaborasi Kreatif sebagai Metode Bermain Budaya

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – “Budaya Bermain, Bermain Budaya” menjadi topik yang disampaikan Dr. Intan Rizky Mutiaz, M.Ds., selaku Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB dalam Studium Generale KU-4078 di Aula Barat Kampus ITB Jalan Ganesha No.10 Bandung, Rabu (6/3/2019).

Pada awal paparan, Dr. Intan menampilkan sebuah tayangan video tentang bagaimana sebuah desain berpengaruh terhadap ketersampaian informasi. Video yang berjudul “Scientific of Love” tersebut berisikan tulisan dengan karakter-karakter yang dibuat sedemikian rupa, sehingga seolah-olah berkomunikasi dan menyalurkan sebuah emosi tertentu.

“Bermain merupakan salah satu kajian di FSRD. Hari ini, permasalahan bermain merupakan permasalahan yang serius,” ujarnya membuka topik tentang Budaya Bermain.

Ia menekankan, bahwa perlu dibedakan antara kosakata ‘bermain’, ‘main’, dan ‘main-main’. Bermain merupakan fenomena budaya, karena melibatkan unsur manusia. Bermain pun sangat berkaitan dengan kemerdekaan—karena bermain tercipta berkat adanya rasa bebas, lepas, dan spontan dalam melakukan sebuah permainan. Seiring perkembangan zaman, terdapat dua permainan, yakni permainan tradisional dan permainan modern. 

“Bagus mana (permainan tradisional atau modern)? Misalkan petak umpet. Dia (permainan tersebut) memiliki nilai-nilai sosial dan budaya, bahkan memiliki komunikasi transedental dengan yang di Atas, karena filosofi dari petak umpet itu adalah ‘tahu’ dan ‘tidak tahu’,” paparnya mengungkapkan filosofi permainan tradisional.

Permainan, memiliki relasi dengan budaya. Dr. Intan menjelaskan, permainan adalah perbuatan yang bebas, permainan bukanlah kehidupan yang sesungguhnya, dan permainan bersifat tertutup dan terbatas—yang ditandai dengan adanya batas waktu dan tempat, serta adanya ‘mulai’ dan ‘akhir’. Selain itu, sifat dari permainan adalah dapat diulangi dan mempunyai kecenderungan untuk membentuk keindahan dengan menimbulkan efek ketegangan dan keseimbangan. 



Dari budaya bermain, program studi DKV mengubah frasa tersebut menjadi “bermain budaya”. Dengan beragamnya budaya di Indonesia, hal tersebut menjadi modal yang sangat baik dalam pengaplikasian bermain budaya. Sebagai contoh, adanya sebuah permainan “Wayang rasa Udang” yang merupakan aplikasi dengan konten budaya Indonesia. Selain itu, terdapat permainan “The Game Concept” yang mengubah paradigma hantu menjadi komoditas yang menyenangkan dengan menggunakan konsep budaya Indonesia. Dalam hal ini, lingkungan mahasiswa ITB yang merupakan multikultur merupakan suatu nilai tambah yang akan meningkatkan interaksi sosial.

Salah satu unsur terpenting dalam mewujudkan budaya bermain tersebut adalah kolaborasi kreatif. Sebagai Ketua Program Studi DKV, ia menjelaskan tentang mata kuliah Game Design yang untuk mahasiswa FSRD dan STEI. “Anak STEI perlu belajar asset, dan teman-teman desain perlu belajar programming. Biasanya, anak STEI dominan otak kiri dan anak desain dominan otak kanan,” ujarnya. 

Pada kuliah umum tersebut, terdapat proses pertukaran ide dan penciptaan sebuah produk dengan perpaduan passion, knowledge experience, dan method. AMAGO, sebuah produk kolaorasi antara mahasiswa DKV dan Teknik Elektro pun menjadi salah satu contoh unggulan, yang merupakan permainan untuk melindungi keberadaan Elang Jawa. Bahkan, terdapat pula wadah berupa Summer Course yang berjudul “Connecting Cultures Through Digital Technology” sebagai media untuk para desainer dan programmer berkumpul dan mengolaborasikan ide-ide yang mereka miliki.

Dr. Intan pun menyinggung tentang kesehariannya dalam berhadapan dengan generasi milenial. Ia menganggap hal tersebut menjadi sebuah keuntungan, karena banyak pengetahuan dan pelajaran yang didapatkan. Ia berpendapat, bahwa generasi millenial punya potensi untuk terjun di industri kreatif. Misalnya bagaimana taktik mengubah informasi menjadi aksi. Dalam hal ini, implementasi sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan mempublikasikan materi kuliah lewat hal yang menyenangkan, seperti membagikan video berdurasi satu menit di salah satu platform media sosial, yakni Instagram.

Reporter: Sabrina Farah Salsabilla (Teknik Lingkungan 2016)