Kuliah Tamu SAPPK Tinjau Potensi Serta Tantangan Kota Sekunder dalam Perspektif Kawasan
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan mengadakan sesi kuliah tamu internasional berjudul “Second Chance Cities? Opportunities and Challenges for Secondary Cities”. Kuliah tamu tersebut disampaikan oleh Dr. Anthony Kent yang merupakan dosen dan peneliti dari Royal Melbourne Institute of Technology University pada Selasa (31/1/2023).
Kota sekunder merupakan suatu wilayah perkotaan dengan tingkat pertumbuhan yang sangat cepat terutama untuk kasus negara-negara berkembang. Pendefinisian kota sekunder tidak selalu ditentukan berdasarkan ukuran kota maupun jumlah penduduk, namun ditinjau pula dari hubungannya dengan kota-kota yang lebih besar maupun kota-kota sekunder lain dalam kawasan tersebut.
Kota sekunder biasanya bukan merupakan ibukota administratif, namun keberadaannya memberikan fungsi dukungan ekonomi, produksi, hingga pelayanan kepada kota-kota lain di sekitarnya. “Saya kira kita tidak seharusnya terlalu bergantung pada definisi menurut ukuran jumlah, namun yang terpenting adalah memahami hubungan antarkota,” ujar Dr. Kent.
Argumen penting dalam konsep kota sekunder yang dikenal luas saat ini adalah “agglomeration shadow” dan “borrowed size”. Keduanya sama-sama menjelaskan bagaimana hubungan kota besar dengan kota yang lebih kecil, atau dalam hal ini umumnya digambarkan dengan kota sekunder.
Agglomeration shadow terjadi ketika aglomerasi di kota yang lebih besar begitu dominan sehingga efeknya seakan-akan menutupi perkembangan kota yang lebih kecil. Sedangkan borrowed size dapat terjadi dalam dua cara. Pertama, kota sekunder akan “meminjam” manfaat aglomerasi yang sebenarnya tidak harus ada dalam kota tersebut dengan cara menyediakan pelayanan maupun fasilitas tertentu yang umumnya ditemukan di kota besar. Kedua, kota sekunder akan mencontoh aglomerasi kota besar dengan cara membentuk jaringan bersama kota-kota lain.
Dengan berbagai potensi dan keunggulan yang dimilikinya, kota sekunder seringkali berperan sebagai pusat manufaktur kawasan. Sedangkan kota besar atau kota primer yang lebih unggul dalam hal aglomerasi akan menyediakan layanan bisnis terutama untuk sektor manufaktur itu sendiri. Dari masing-masing potensi tersebut kemudian akan tercipta jaringan kerja sama fungsional antara kota primer dengan kota sekunder dalam satu kawasan.
Dr. Kent menambahkan, “Secara sempit, dua sektor kunci yang menjadi fokus interaksi ekonomi antara kota besar dan kota sekunder adalah bisnis dan manufaktur. Bagaimana hubungan di antara kedua sektor ini dan apakah akhirnya hubungan ini akan efektif atau tidak.”
Sebagai contoh, Dr. Kent menjelaskan tentang kota Geelong yang merupakan kota sekunder di pesisir timur Australia. Geelong masih berdekatan dengan kota besar di kawasan tersebut yaitu Melbourne, dengan spesialisasi di sektor industri. Kedekatan spasial antara Geelong dan Melbourne menyebabkan hubungan fungsional yang menghasilkan interaksi positif maupun negatif untuk keduanya. “Ketika sebuah kota sekunder terspesialisasi namun sangat bergantung pada satu sektor spesialisasi tersebut, maka ketika sektor tersebut bermasalah, cenderung akan mempengaruhi sektor-sektor lain secara umum,” ungkapnya.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)