Laporan Perjalanan Singkat 2 Mahasiswa di Kota Tsunami
Oleh
Editor
Bencana Tsunami yang melanda ujung barat Indonesia sudah lama berlalu. Sampai saat ini proses rekonstruksi masih terus berlangsung di Nanggroe Aceh Darussalam. ITB yang mendapat bagian tanggung jawab bersama Pemda Jawa Barat di Kabupaten Aceh Barat telah menyelesaikan misi bantuan dan relawan sejak Maret lalu.
Tim Relawan Ganesha 2 (tim relawan ke-3 ITB), merupakan tim terakhir dari ITB yang bertugas di Meulaboh hingga akhir Maret lalu (lihat berita “Kepulangan Tim Ganesha 2 ITB Mengakhiri Bantuan Emergency Response di Meulaboh 11 Mret 2005). Tim ini memberdayakan dana sebesar 171 juta untuk merekonstruksi sebuah SMP di Meulaboh. Sekembalinya tim Ganesha 2 ke ITB, pembangunan sekolah tersebut masih terus berlangsung. Dan pertengahan Mei lalu pembangunan tersebut selesai. Dua mahasiswa perwakilan dari ITB kembali menuju kota Meulaboh dalam rangka serah terima dan melihat kondisi terakhir kota tersebut.
Sawung (AS 00) dan Yoseph (BI 02) ketua tim Ganesha 2, yang mendapat tugas tersebut. Mereka berangkat dari ITB Jumat lalu (20/5) menuju Jakarta mengejar pesawat sore menuju Medan. “Jumat malam kami tiba di Medan, kira-kira pukul 22.30 malam.” ungkap Sawung. Sehari semalam di Medan, mereka menginap di salah satu rumah rekan mahasiswa, Syaiful (SI 99). Dalam rencananya, mereka akan menumpang pesawat SMAC menuju kota Meulaboh, Sabtu pagi. “Tetapi karena ada pejabat yang juga berangkat kesana, kita terpaksa harus menunda perjalanan dulu.” ujar Sawung.
Karena sudah ditunggu oleh pihak penanggung jawab pembangunan di kota Meulaboh, Sawung dan Yoseph memilih menembus kota Meulaboh dengan jalan darat, menggunakan bus. “Perjalanan sebenarnya lancar-lancar. Tapi yang membuat tidak nyaman itu banyaknya pemeriksaan di jalan oleh aparat keamanan. Tetapi bukan pemeriksaan biasa, mereka (aparat –red) cuma “mengutip” uang jalan dari supir bus.” jelas Sawung. Sesuai penjelasan supir bus tesebut, mereka bisa menghabiskan Rp.300.000 hingga Rp.600.000 untuk membayar pungli-pungli tersebut. Sebuah dampak lain yang dari masa operasi militer yang mungkin sudah terlihat biasa bagi warga Aceh.
Kedua mahasiswa ini tiba di Meulaboh Minggu sore, sekitar pukul 15.00 WIB. Pak Didi, penanggung jawab pembangunan sekolah tersebut sudah menunggu mereka. Langsung sore itu juga mereka berkeliling sebentar melihat perkembangan kota Meulaboh 6 bulan pasca Tsunami. Sebagaimana diungkapkan Yoseph, belum banyak perubahan sejak terakhir kali ditinggalkan tim Ganesha 2. Pak Didi juga menjelaskan perubahan yang signifikan tidak ada, hanya perubahan di birokrasi Satkorlak (Satuan Koordinasi Pelaksana) saja yang paling kelihatan. Sebelumnya Satkorlak dipegang oleh pihak militer dan lokasinya di Kompi Senapan C, salah satu markas militer di Meulaboh. Kini birokrasi sudah ditangani langsung oleh pemerintah Kabupaten dan lokasi satkorlak bergeser di Kantor Kabupaten.
Sawung dan Yoseph juga menyempatkan diri menuju SMK 2, dimana siswa-siswa sekolah ini mendapat tugas utnuk menyelesaikan pembangunan SMP 2 yang rusak tersebut. Para siswa sekolah kejuruan ini mendapat bagian mengerjakan kelengkapan bangunan kelas yaitu kusen, jendela, pintu hingga perlengkapan kelas seperti meja, kursi dan lainnya.
Masyarakat yang terkena dampak tsunami sebagian besar masih berada di barak-barak dan tenda. “Kondisi pengungsi masih mengkhawatirkan. Hidup mereka serba prihatin. Sangat tergantung dari pemerintah dan bantuan.” ungkap Sawung yang juga sempat meninjau ke lokasi pengungsian. “Mereka (pengungsi-red) sempat bercerita-cerita sedikit dengan kita kalau mereka sebenarnya ikut saja apa yang dikatakan pemerintah. Mereka sangat menggantungkan harapan dari ketegasan pemerintah kabupaten.”
Memang kondisi yang mengkhawatirkan melihat pemerintah sendiri terlihat kurang memiliki ketegasan. Sebagai contoh saja, permasalahan konsolidasi tanah warga, sering terjadi adu mulut. Ditambah lagi warga yang sudah mulai membangun rumah tinggal di puing-puing rumah mereka padahal masih berada di zona 700 meter dari tepi laut, zona yang telah ditetapkan bersama sebagai lahan bukan tempat huni sebagaimana dalam blueprint pembangunan tata kota pasca tsunami. Dalam permasalahan-permasalahan tersebut ketegasan pemerintah sangat dibutuhkan selain solusi yang juga dibutuhkan para masyarakat.
Sawung yang sempat bertemu dengan Bupati Meulaboh menceritakan, pemerintah sendiri sangat terbatas dalam menanggapi permasalahan tersebut. LSM-LSM yang membantu masih terus berdatangan dengan program mereka. “Ibarat kita mau bikin pesta, tetapi tamunya sudah datang. Jadinya apapun masakan yang sudah jadi kita sediakan saja terlebih dahulu.” ujar Sawung mengutip istilah dari bapak Bupati. Memang LSM-LSM, baik nasional dan internasional, masih terlihat beroperasi di kota ini. Helikopter-helikopter bantuan UN juga masih berkeliaran di udara.
Entah berapa lama lagi kondisi akan kembali seperti semula di kota Meulaboh. Sama halnya dengan kota-kota lain yang terkena dampak tsunami 26 Desember lalu, rekonstruksi kehidupan masyarakat, baik secara fisik dan ekonomi terus diusahakan dan memang sudah terlihat kemajuan. Hanya saja tersisa pertanyaan akan sampai kapan? Kekuatan dan kesabaran masyarakat/pemerintah masih terus diuji walau bencana telah berakhir.