Membahas Perkembangan Keilmuan Bersama KK Bioteknologi Mikroba SITH ITB

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

Foto ilustrasi. Sumber: freepik.com

BANDUNG, itb.ac.id—Sebagai wadah diskusi perkembangan keilmuan, Kelompok Keilmuan Bioteknologi Mikroba SITH ITB menggandeng dua dosen muda untuk menjadi narasumber pada webinar yang dilaksanakan Jumat (5/11/2021). Kegiatan tersebut dilaksanakan secara virtual melalui kanal Zoom dan dimoderatori oleh Dr. Magdalena Lenny Situmorang.

Sesi pertama diisi dengan pemaparan materi bertajuk “Produksi Drop-in Chemicals dan Bahan Bakar Nabati Generasi Mendatang Melalui Proses Bauran Bio dan Termokimia” oleh Dr. Neil Priharto. Ia menyebutkan bahwa saat ini, energi bersih tengah menjadi perhatian banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Salah satu contoh energi tersebut adalah biofuel yang dianggap sebagai pengganti bahan bakar fosil yang baik karena berbasis hayati dan lebih ramah lingkungan.

Foto: tangkapan layar presentasi Dr. Neil Priharto

“Meskipun biofuel sudah memiliki dua generasi, seiring dengan peningkatan populasi manusia, kita tetap membutuhkan adanya advanced dan novel advanced biofuel dengan bahan baku nontanaman pangan agar tidak ada persaingan,” ungkap Dr. Neil saat menjelaskan kondisi perkembangan biofuel.

Pemaparan Dr. Neil kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai bio-based drop-in chemicals, sebuah versi hayati dari bahan bakar petrokimia yang sudah lama dikenal di pasaran. Menurutnya, komoditas tersebut sangat identik secara kimiawi dengan bahan-bahan kimia berbasis fosil yang ada. Selain itu, terdapat pula istilah smart drop-in yang merujuk pada subkategori spesial yang setidaknya memenuhi dua kriteria, yaitu proses produksinya membutuhkan jumlah energi yang jauh lebih sedikit, waktu ke produk lebih singkat karena jalur produksinya lebih pendek dan kurang kompleks, serta menggunakan atau menghasilkan produk sampingan yang tidak beracun atau tidak keras selama proses produksinya.

“Biofuel sebenarnya bisa diproses menggunakan banyak metode, seperti secara biologis, kimiawi, maupun yang terintegrasi. Mereka mempunyai kekuatan dan limitasinya masing-masing. Selain metodenya, platform yang tersedia juga bermacam-macam,” lanjut Dr. Neil.

Dr. Neil menutup sesi pertama dengan menjelaskan studi awal mengenai teknologi biojet pengonversi bahan bakar, khususnya bioavtur, berbasis mikroalga. Ia menyebutkan bahwa mikroalga adalah analog bahan bakar fosil yang sempurna karena dapat dikultivasi dalam jumlah yang besar, padat, serta menghasilkan fraksi gula, abu, lipid, dan protein. Menurutnya, saat diaplikasikan pada teknologi biojet, keunggulan mikroalga dalam mengonversi karbon dioksida dapat menjadi solusi akan kebutuhan energi bersih global.

Dzulianur Mutsla, M.T. turut hadir pada webinar tersebut sebagai narasumber kedua dengan judul presentasi “Diversitas Ekologi dan Metabolisme Komunitas Mikroba dalam Proses Pengeringan Menggunakan Matahari untuk Biji Kopi Australia".

Menurut Dzulianur, banyak orang yang menyukai kopi karena kompleksitas rasanya yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor pada lima tahap, yaitu agrikultur, pemrosesan biji hijau, penggilingan, preparasi, dan penyajian. “Penelitian saya berfokus pada tahap yang kedua, secara spesifik pemrosesan dengan pengeringan menggunakan matahari,” ujarnya.

*Foto: tangkapan layar presentasi Dzulianur Mutsla, M.T.

Mahasiswi Ph.D dari University of New South Wales, Australia, itu kemudian menjelaskan bahwa pengeringan yang dilakukan meliputi fermentasi seluruh buah kopi secara spontan. Rasa khas kopi yang menonjol akan muncul dengan baik karena sistemnya yang tertutup di dalam biji. Ia menggunakan kopi Australia varietas Catuai Rojo dan K7 sebagai objek penelitian karena meskipun tingkat produksinya kecil, kopi tersebut terus berkembang dengan pesat mengikuti kultur ‘minum kopi’ di negara tersebut.

“Kopi Australia mempunyai potensi untuk dikembangkan karena karakteristiknya yang bebas dari penyakit coffee berry dan rust, konsentrasi kafeinnya yang lebih rendah 10-15% kali, dan tumbuh di lingkungan dingin sehingga profil rasanya lebih kompleks,” jelas Dzulianur.

Oleh karena itu, dalam penelitiannya, ia hendak mengeksplorasi kontribusi berbagai mikroba untuk fermentasi kopi dalam proses pengeringannya dan menginvestigasi perubahan-perubahan biokimiawi yang terjadi saat proses tersebut berlangsung. Meskipun belum tuntas, Dzulianur mengungkapkan bahwa ragi dan bakteri yang teramati sangatlah beragam dan aktivitasnya dipengaruhi oleh proses pengeringan di bawah matahari. Kedua jenis mikroba tersebut tumbuh secara signifikan, memanfaatkan gula pada bagian hull dan pulp, dan memproduksi manitol, gliserol, serta asam laktat untuk mengurangi pH.

“Penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk melihat dampak pertumbuhan mikroba dan metabolismenya pada kualitas kopi, terutama pada aspek rasa,” tutupnya.

Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)