Membangun Learning Organization: Mau Berbagi (3)

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

(sambungan dari tulisan terdahulu) Sesi selanjutnya lebih mengarah pada aplikasi konsep learning organization dalam kehidupan nyata. Dua praktisi dunia bisnis konsultansi hadir membagikan pengalamannya mengenai learning organization. Yang pertama adalah Bernardus Djonoputro dari PricewaterHouseCoopers (PwC). Bernardus menceritakan pengalamannya dalam membangun knowledge management sebagai implementasi dari learning organization. Sebuah bisnis konsultansi sangat membutuhkan knowledge management yang kuat. Ini tercermin dengan kebijakan PwC menempatkan Knowledge Management Departement dalam Business Development. Sharing informasi adalah kunci sukses; termasuk di dalamnya adalah berbagi pengalaman kesuksesan dan kegagalan tender. Knowledge Management yang baik juga menjadi kunci 'standardisasi' metodologi dalam sebuah bisnis konsultansi. Bernardus menjelaskan berbagai sistem yang digunakan untuk membentuk knowledge management. Heru Prasetyo membagikan pengalamannya mengimplementasikan learning organization di Accenture. Dalam pemaparannya, Heru banyak menekankan berbagai keuntungan yang dicapai bila organisasi 'belajar'. Organisasi yang mampu belajar akan dapat menjadi lebih efisien, efektif, serta fleksibel. Yang menarik, adalah kesimpulan Heru, bahwa pembelajaran adalah kehidupan itu sendiri (learning is life). Karena itu, pembelajaran itu adalah hal yang alami. Bila pembelajaran 'diracuni' oleh motif tertentu (pandangan sempit, lingkungan kerja yang buruk, dsb) maka pembelajaran tidak lagi alami dan malah mengarah pada kehancuran organisasi. Penutup presentasinya menggugah hati. "Is life worth living? If it yes, then life is worth exploring," ujarnya. Pada sesi tanya-jawab, muncul pertanyaan yang menarik dari Prof Moore: apa yang menjadi halangan terbesar membangun learning organization di Indonesia. Jawaban kedua praktisi ini sama-sama mengena. Bernardus mengungkapkan bahwa orang Indonesia itu "senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang". Ketakutan akan "tidak kebagian" itu menghantui orang Indonesia. Sementara itu, menurut Heru, selain masalah bahasa, budaya kebebasan/demokrasi berpikir belum ada di Indonesia. Heru, lalu, menyalahkan Orde Baru. Salah satu ekses yang muncul dari tidak adanya demokrasi berpikir adalah euphimisme yang berlebihan; menyebutkan dipenjara dengan diamankan, dsb. Ekses lain adalah budaya berbicara basa-basi dan tidak terbuka dalam pembelajaran. Dari keseluruhan perjalanan workshop ini, dapat disarikan satu kata kunci dalam mewujudkan learning organization, yaitu berbagi. Kemauan berbagi adalah sifat dasar organisasi yang belajar; berbagi pengalaman sukses dan gagal. Pola pikir 'saya sudah sukses dengan begini dan saya mau kamu juga sukses seperti saya dengan begini' serta 'saya gagal karena ini dan saya tidak mau kamu gagal karena ini' harus menjiwai tiap individu dalam organisasi. Berbagai batasan, terutama dari segi budaya, memang mewarnai implementasi learning organization di Indonesia. Namun, bagaimanapun juga konsep ini perlu diusahakan dan diterapkan dalam organisasi-organisasi Indonesia demi selamat menghadapi berbagai masalah baru dan perubahan zaman. Untuk itu, baiklah dimulai dengan satu pertanyaan sederhana namun cukup mengusik: maukah berbagi?