Mengembangkan Bisnis di Tengah Kondisi Pandemi

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

BANDUNG, itb.ac.id—Kondisi krisis akibat pandemi telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat, perbankan kesulitan likuiditas, pengangguran atau PHK meningkat, dan siklus ekonomi termasuk produksi-distribusi-konsumsi juga terdampak. Persoalan tersebut dibahas dalam webinar series SBM ITB dengan tema “Grow Your Business in The Mid of Pandemic”.

Acara yang digelar pada 27 Juni 2020 itu menghadirkan narasumber yaitu Dina Dellyana (Direktur Inkubator SBM ITB), Fajrin Rasyid (Co-Founder Bukalapak dan Direktur Telkom Digital), Rex Marindo (Founder Upnormal dan Foodizz), Geary Undarsa (Co-Founder Tiket.com), dengan moderator Leo Aldianto (Dosen SBM ITB bidang Manajemen Inovasi) dan ditutup oleh sambutan Prof. Dwi Larso (Direktur LPDP dan Dosen SBM ITB).

Dekan SBM ITB, Prof. Utomo Sarjono Putro dalam pembukaannya mengatakan, webinar kali ini mengangkat topik UMKM dan startup yang menjadi penopang penting dari mayoritas ekonomi nasional dengan menyumbang 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Laporan dari Kementerian Koperasi dan UMKM pada Mei 2020, sebanyak 47 persen dari total UMKM mengalami permasalahan hingga collapse akibat COVID-19.

“Pandemi ini memaksa perubahan ekonomi menuju less-contact economy, sehingga menuntut para pelaku ekonomi untuk dapat memanfaatkan akses digital yang lebih baik. UMKM kita membutuhkan teknologi plug and play, yang mudah bagi UMKM,” jelas Prof. Utomo.
Pengaruh COVID-19 terhadap Ekonomi Kreatif

Dr. Dina dan tim, sebelumnya telah melakukan riset dengan menyebar kuesioner secara daring mulai 24 Maret 2020 sampai 14 April 2020 kepada berbagai asosiasi subsektor ekonomi kreatif. Subsektor yang paling dominan mengisi ialah subsektor fashion (14,6 persen) dan kuliner (14,3 persen) dengan 16 subsektor lainnya. Dari data tersebut, 8 persen dari responden mengaku mengalami penambahan omzet, yang ternyata berasal dari subsektor games dan animasi.

Hal ini dapat diindikasikan dengan peningkatan permintaan konsumen selama work from home yang cenderung melakukan kegiatan seperti bermain games dan menonton. Social distancing juga mempengaruhi banyak industri terutama fashion yang mengalami kehilangan pemasukan yang besar di level sekitar Rp100 sampai Rp300 juta.

Dalam hal memenangkan persaingan di tengah bencana COVID-19, sebagian besar pelaku ekonomi kreatif cenderung tidak mencoba proyek baru yang berisiko. Pelaku ekonomi kreatif lebih senang untuk menanggapi strategi kompetitor dibanding strategi lainnya. “Banyak startup yang mulai menjual produk yang berbeda dari industrinya dengan menyesuaikan dengan kebutuhan situasi pandemi. Banyak cara yang mereka lakukan agar cashflow tetap terjaga,” jelas Dr. Dina.

Sebanyak 75 persen pelaku ekonomi kreatif juga aktif mencari ilmu baru dan meng-upgrade skill untuk beradaptasi, terutama dalam subsektor fotografi. Dari data yang diperoleh, pelaku industri kreatif juga sangat tidak setuju untuk melakukan pengurangan karyawan dalam upaya mereka mengatasi dampak pandemi walaupun harus melakukan efisiensi biaya. Mereka lebih memilih mengurangi jam kerja dan gaji dari karyawan.
Dr. Dina juga menyampaikan strategi yang dapat diambil secara general oleh pelaku ekonomi kreatif dalam jangka waktu pendek, menengah, dan panjang. Strategi tersebut terbagi menjadi empat bagian dari komponen business model, yakni customer value proposition, profit formula, key resources, dan key processes.

“Dalam jangka pendek, penting bagi UMKM untuk merawat konsumen dan mencoba berkolaborasi dengan subsektor lain sehingga bisa memperluas pasar. Selain itu, dari profit formula coba pikirkan untuk mengubah cara pembayaran bagi konsumen dan mengurangi biaya yang tidak perlu, serta optimalisasi sumber daya yang dimiliki dan mulai shifting ke online,” jelas Dr. Dina.

Bagaimana Meningkatkan Potensi Bisnis di Era COVID-19?

Membangun bisnis baru atau startup memiliki dua kata kunci, yakni temporary dan extreme uncertainty. Hal tersebut disampaikan oleh Fajrin Rasyid. “Sebuah startup sudah pasti harus bisa jeli dalam menyelesaikan masalah dan kondisi yang ada di masyarakat sekitar,” ungkap Fajrin.

Dilihat dari bisnis industri kuliner, Rex Marindo selaku orang yang sudah malang melintang di industri kuliner sejak 2013 ini mengatakan bahwa 90 persen pelaku industri kuliner sudah sangat matang dalam cara memasak dan menciptakan resep, namun kurang dalam pengetahuan untuk bertahan dan bertumbuh (growth) dalam bisnis. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage) untuk pelaku industri kuliner ialah Database Building and Management (pengaplikasian platform yang meliputi WhatsApp Business dan list-building email sebagai wadah data potensi pembelian berulang oleh konsumen).

Semenjak kondisi pandemi, konsumen lebih memilih membeli makanan secara pesan-antar daripada makan di tempat. Adaptasi untuk perilaku menuju new normal dengan menyusun strategi seperti social distancing, health consider, cashless, less contact juga wajib diimplementasikan oleh bisnis kuliner seperti restoran.

“Pemahaman digital saat ini betul-betul implementasinya harus sudah dilakukan dari keseluruhan proses bisnis dan organisasi. Momen seperti ini juga membuat pelaku usaha harus tetap menjaga komunikasi brand usahanya,” jelas Rex Marindo.

Salah satu Co-Founder Tiket.com, Geary Undarsa menyebutkan dalam suatu krisis budaya atau nilai inti yang dimiliki sebuah bisnis menjadi sangat penting. “3F menurut saya dapat menyelamatkan company, yakni Fast, Flexible, dan Friendly. Cepat dalam menanggapi dan menyampaikan sesuatu, lalu fleksibel dalam perubahan sehingga tidak ada batasan di tiap level pekerja karena konsumen lebih menuntut pada solusi yang terbaik, termurah, dan tercepat. Serta mudah membangun hubungan yang baik terhadap sesama karyawan, supplier, dan konsumen,” ungkapnya.

Sementara itu, sebagai penutup Prof. Dwi Larso menyampaikan, pelaku usaha sangat penting untuk melihat pandemi sebagai peluang dan kesempatan untuk berbisnis meskipun banyak perilaku konsumen yang berubah, dengan cara menawarkan produk atau jasa yang baru dari kekuatan bisnis yang sudah dimiliki sebelumnya.

Reporter: Salsabila Mayang Febriana (Manajemen, 2020)