Mengenal Gunung Lumpur Bawah Laut: Tetangga Masyarakat Kepulauan Tanimbar
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Gempa 7,9 SR yang terjadi pada 9 Januari 2023 silam di Maluku Tenggara menghasilkan sebuah fenomena menarik. Di bawah permukaan laut Desa Teineman, Kecamatan Wua Laboba, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, sebuah gundukan lumpur yang besar muncul dan menjelma menjadi pulau baru.
Berbagai observasi kemudian mengarah pada sebuah hipotesis bahwa gundukan tersebut adalah sebuah fenomena gunung lumpur (mud volcano), atau ada pula yang menduga sebagai intrusi lumpur (mud diapir).
Secara geologis, gunung lumpur cenderung terjadi pada daerah dengan banyak kegiatan tektonik aktif, seperti batas lempeng yang menghasilkan berbagai jenis gempa, yang kemudian menyediakan jalur fluida bawah permukaan air untuk naik ke daerah yang lebih dangkal. Fluida tersebut diinisiasi oleh perubahan tekanan dan dapat mengalir melalui bidang sesar dan rekahan-rekahan.
Dua hal yang dapat mengubah tekanan di bawah permukaan ialah gempa bumi dan laju sedimentasi yang cepat. Pergerakan lempeng yang kontinu mengakibatkan batuan menyimpan akumulasi gaya yang akan dilepaskan secara tiba-tiba melalui proses gempa bumi. Pelepasan itu kemudian mengubah tekanan pada batuan, terutama pada area dekat bidang sesar.
Belajar dari erupsi gunung lumpur yang terjadi di banyak lokasi di dunia, kemunculan fenomena ini tidak selalu segera setelah gempa bumi terjadi, tetapi setidaknya 1-2 tahun antarperiode erupsi. Meskipun demikian, kemunculan gunung lumpur di Tanimbar ialah terbentuknya pulau baru di tengah laut.
Menurut Dr. Alfend Rudyawan dan Dr. Astyka Pamumpuni dari FITB ITB, hal ini spesial karena berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang pembentukan pulau gunung lumpur, proses ini biasanya berlangsung sangat lambat, bahkan hingga ribuan tahun. Dengan demikian, untuk sampai ke permukaan, gunung lumpur bawah laut haruslah melalui proses erupsi yang berulang dalam waktu lama.
Laju pembentukan pulau ditentukan oleh laju semburan lumpur dan akumulasinya di bawah permukaan laut. Komposisi lumpur juga memiliki peran yang signifikan karena semakin banyak proporsi padatannya, maka lumpur akan lebih mudah mengendap. Berikutnya ialah posisi semburan lumpur yang akan berpengaruh besar dalam terendapkannya produk gunung lumpur.
Khusus pada kejadian semburan di bawah permukaan laut, akumulasi akan sangat dikendalikan gelombang dan arus laut serta transportasi sedimen. Apabila kencang, akumulasi akan dibawa dan diendapkan di tempat lain. Akibatnya, semburan gunung lumpur bawah laut, terutama pada daerah yang dalam, sulit terakumulasi.
Dr. Alfend dan Dr. Astyka dalam Rekacipta ITB yang diterbitkan Media Indonesia edisi 28 Maret 2023 menjelaskan bahwa sumber material yang diinjeksikan ke permukaan memiliki pengaruh pada geometri yang terbentuk pada permukaan. Jika lumpur berasal dari lapisan sedimen yang berada jauh di kedalaman dan ditindih sedimen tebal, produk akan memiliki diameter di atas 2 km dengan tinggi lebih dari 200 m.
Sebaliknya, jika sumber lumpurnya ialah sedimen tak terkonsolidasi sempurna di kedalaman dangkal dengan tutupan yang tipis, akan cenderung menghasilkan gunung lumpur dengan rentang diameter 1-2 km dan tinggi 100-200m. Sering kali, pada area berarus kencang, yang tersisa di permukaan dapat berupa ngarai bawah laut, pockmark, serta gas chimney.
Kunjungan peneliti KK Geodinamika dan Sedimentologi pada 2019 dan Geodynamic Research Group ITB di beberapa pulau di utara Pulau Tanimbar menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut dibentuk dari hasil erupsi gunung lumpur di masa lalu. Sumber lumpurnya ialah sedimen yang membawa blok-blok fragmen dari sedimen yang berumur jauh lebih tua. Kemunculan gunung lumpur memang tidak berlangsung tiba-tiba dan tidak sendirian.
Fenomena ini merupakan kulminasi proses panjang yang terjadi di bawah permukaan laut. Oleh karena itu, kemunculan gunung lumpur justru menguji kesiapan masyarakat sekitar untuk menghadapinya. Ketika pulau gunung lumpur baru muncul, beberapa langkah harus diambil untuk memastikan keselamatan khalayak dan properti di daerah tersebut.
Hal pertama yang perlu dicek adalah terkait pulau gunung lumpur baru, gempa bumi, aliran lumpur, emisi gas metana dan gas lainnya, ketidakstabilan lereng bawah laut, dan lain-lain yang dapat berbahaya jika terakumulasi di area tertutup. Pengumpulan informasi dilakukan melalui pemantauan dan pengamatan gunung lumpur serta analisis data dari erupsi sebelumnya. Penilaian potensi bahaya menjadi pondasi awal untuk menjalankan rencana mitigasi bencana.
Program pemantauan juga harus dilaksanakan untuk melacak aktivitas gunung lumpur dan mendeteksi perubahan apa pun yang mungkin mengindikasikan semburan yang akan segera terjadi. Cakupan program ini antara lain survei seismik, penginderaan jarak jauh, dan pemantauan in situ. Hasil penelitian kemudian patut dikomunikasikan secara teratur, transparan, dan resiprokal dengan masyarakat setempat agar mereka mendapat informasi dan risiko tentang gunung lumpur. Hal itu meliputi aktivitas gunung lumpur, rencana evakuasi, dan prosedur darurat yang akurat dan terkini. Sudah waktunya kita tanggap bencana dan kenal ‘tetangga’ kita dengan lebih baik.
*Artikel ini telah dipublikasi di Media Indonesia rubrik Rekacipta ITB, tulisan selengkapnya dapat dibaca di laman https://pengabdian.lppm.itb.ac.id
Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)