Menghapuskan Stigma Pendidikan sebagai Sesuatu yang Sulit bagi Penyandang Disabilitas

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Seringkali ketika membicarakan mengenai disabilitas, maka yang terbayang adalah seseorang dengan kursi roda maupun hal-hal fisik lainnya yang terlihat netra. Namun, pada Studium Generale, Rabu (8/2/2023), Dr. Dante Rigmalia, M.Pd,. menegaskan bahwa ada pula disabilitas yang tidak terlihat atau invisible. Topik yang diangkat pada kedatangannya hari ini selaku Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) RI adalah membangun kampus yang inklusif.

Dr. Dante mengawali kuliah umum dengan cerita pengalaman hidupnya. Ia mengalami hambatan neurologis disleksia, yaitu sebuah kondisi yang menyebabkan kesulitan dalam menangkap informasi, menyimpannya pada memori jangka pendek atau jangka panjang. “Pada hari ini, saya juga menggunakan alat bantu dengar di telinga kiri dan kanan dengan derajat ketulian sedang.”

Karena hambatan neurologis disleksia, ia semasa kecil mengalami perkembangan yang jauh berbeda dengan anak-anak umumnya sehingga tidak dapat masuk ke pendidikan taman kanak-kanak. “Belajar akademis merupakan sesuatu yang sulit dan mengerikan untuk saya,” pungkasnya.

Pada masa sekolahnya, Dr. Dante bercerita bahwa ia juga mengalami trauma tersendiri karena tidak dapat mengikuti pelajaran. Bahkan ia mengalami frustasi ketika mendaftar di tes perguruan tinggi dengan paket persamaan namun ditolak sebab ijazah yang dimilikinya tidak memiliki Nilai EBTANAS Murni (NEM). “Bukan hanya itu, saya pun mengalami kesulitan membaca jadwal perkuliahan. Seringkali saya salah masuk hari ketika tengah menempuh pendidikan S2 yang pertama.”

Tidak hanya kesulitan yang berasal dari diri sendiri, ia pun mengalami kesulitan sebab seringkali terkena stigma dari lingkungan. Namun itu semua menjadikan ia mampu bermimpi besar. Hal inilah yang mendorongnya untuk berkontribusi lebih besar dan mengikuti seleksi KND.

Bagi penyandang disabilitas, berpartisipasi secara penuh menjadi sesuatu yang mahal. Ketika partisipasi itu tidak diberikan, maka siapapun juga tidak akan bisa berkembang. Inilah yang menjadikan penyandang disabilitas sering tertinggal meskipun mereka memiliki kesamaan hak, martabat, keinginan, potensi, serta bakat seperti non-disabilitas. Bahkan pada Undang-Undang, terdapat 22 hak penyandang disabilitas, di antaranya adalah hak bebas dari stigma, hak hidup, hak pendidikan, serta hak-hak lainnya yang sama dengan nondisabilitas.


“Pendidikan merupakan hak dasar dan inklusif, namun faktanya hanya 2,8% penyandang disabilitas yang dapat menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi.”
Dipaparkan lebih lanjut bahwa penyandang disabilitas sulit mendapatkan hak pendidikan karena beberapa hal, di antaranya adalah status sosial ekonomi orang tua yang tergolong menengah ke bawah, stigma terhadap penyandang disabilitas, aksesibilitas terhambat, serta akomodasi yang layak belum tersedia dalam semua aspek kehidupan.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi untuk melaksanakan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (P3HPD). Di antaranya adalah:

1. Mata kuliah sensitivitas terhadap penyandang disabilitas di semua prodi,
2. Program kegiatan mendekatkan semua warga kampus, kegiatan atau forum mahasiswa peduli penyandang disabilitas,
3. Afirmasi bagi penyandang disabilitas dalam penerimaan mahasiswa baru, serta
4. Unit layanan disabilitas (ULD) sebagai sistem dukungan kampus yang ramah disabilitas.

“Harapannya, kita semua bisa memulai apa yang bisa menjadi dukungan bagi penyandang disabilitas, dimulai dari sesuatu yang sangat dekat dengan diri kita,” ujarnya sebagai penutup.

Bantuan mengenai Disabilitas Tanah Air dapat diakses melalui contact centre DITA 143.

Reporter: Athira Syifa PS (Teknologi Pascapanen, 2019)