Orasi Ilmiah Prof. Gede Suantika: Sistem Akuakultur Tertutup untuk Masa Depan Industri Pangan Indonesia

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

BANDUNG, itb.ac.id—Guru Besar bidang Ilmu Akuakultur, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, Prof. Dr. Gede Suantika, S.Si., M.Si., menyampaikan orasi ilmiah pada Forum Guru Besar ITB, Sabtu (11/12/2021) melalui kanal Youtube ITB. Orasi ilmiah Prof. Gede Suantika mengangkat judul “Pengembangan dan Penerapan Sistem Akuakultur Tertutup (Closed Aquaculture System) untuk Industri Akuakultur Berkelanjutan”.

Pada awal orasinya, Prof. Gede menceritakan bahwa ketertarikannya terhadap bidang akuakultur mulai tumbuh saat ia mengenyam pendidikan S1 dan S2 Biologi di ITB. Kala itu, ia diajak untuk melakukan riset terkait ekologi perairan tawar di Situ Panjalu, Ciamis dan tambak udang Eretan, Indramayu. Meskipun demikian, Prof. Gede baru mulai berkecimpung penuh saat melanjutkan studi S3 di Ghent University. “Saya mulai bekerja dengan teknologi RAS untuk memproduksi pakan alami secara massal. Saya juga belajar adanya prinsip-prinsip dasar rekayasa biologi dan fisik pada sistem akuakultur,” ungkapnya.

Saat kembali ke Indonesia, Prof. Gede melakukan perjalanan ke sentra-sentra budidaya berbasis akuakultur yang dimiliki sejumlah kolega di seluruh negeri. Melalui kesempatan tersebut, ia menyadari bahwa potensi budidaya perikanan Indonesia sangat besar karena iklimnya yang tropis dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Selain itu, dari segi sosiokultural, masyarakat Indonesia juga telah memiliki budaya kultivasi berbagai komoditas perikanan yang bernilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara dalam lima besar negara produsen akuakultur di dunia.

Bahkan, apabila ditinjau dari peta statistik global, selain tingkat produksi dan efisiensi akuakultur yang terus meningkat, sektor tersebut juga menghasilkan pangan bernutri tinggi. “Saya meyakini akuakultur dapat menyediakan pangan boga bahari untuk lebih dari 2 juta populasi manusia di tahun 2050,” ujar Prof. Gede.

Terlepas dari segala keuntungan yang dimiliki oleh akuakultur, Prof. Gede menyadari adanya berbagai permasalahan yang menghambat implementasinya di masyarakat. Menurutnya, mereka hanya mengenal metode-metode tradisional yang proses budidayanya masih sangat tergantung pada penggunaan air permukaan. Padahal, kolam dan keramba apung konvensional berdampak negatif terhadap lingkungan, misalnya dengan adanya eksploitasi hutan bakau dan penggunaan zat-zat kimiawi yang berbahaya.

Tantangan tersebut membuat Prof. Gede melakukan beberapa pendekatan dan pertimbangan dalam mengembangkan sistem akuakultur tertutup. Ia berpendapat bahwa semua komponen teknologi harus fisibel dan tersedia secara lokal, termasuk agen-agen biologis yang digunakan. Lebih lanjut, sensitivitas sosial juga perlu diperhatikan agar bisa mengakomodasi seluruh masyarakat.

“Berdasarkan kajian tersebut, SITH ITB berupaya mengembangkan empat sistem akuakultur tertutup menggunakan reused water yang diolah sehingga pembuangannya ke lingkungan sangat minimum dan operasionalnya terkontrol penuh,” jelas Prof. Gede. Seluruh sistem tersebut telah diaplikasikan secara industrial pada budidaya udang dan ikan di berbagai daerah di Indonesia.

Ia kemudian menjelaskan mengenai sistem pertama, Zero Water Discharge (ZWD), yang hanya memerlukan satu tangki atau kolam budidaya. Pada sistem tersebut, terdapat tiga konsorsium mikroba yang digunakan dalam pengolahan air yaitu bakteri heterotrofik untuk ammonifikasi, bakteri nitrifikasi untuk konversi senyawa beracun ammonium menjadi nitrat, serta mikroalga chaetoceras calcitrans untuk mengasimilasi nitrat, mengasilkan oksigen dan naungan, serta sebagai pakan alami.

Selanjutnya, ada Simplified Recirculating Aquaculture System (RAS) yang menggunakan biofilter untuk merombak ammonium dalam proses membersihkan air, sebelum akhirnya dipakai dalam akuakultur. Meskipun cenderung lebih rumit dibandingkan sistem sebelumnya, Prof. Gede berupaya untuk melakukan beberapa simplifikasi untuk mengurangi risiko kesalahan teknis dan menekan biaya investasi.

Sistem ketiga merupakan sistem hibrid yang telah digunakan pada pendederan udang putih di Gresik, Jawa Timur dan Buleleng, Bali. ZWD memfasilitasi teknologi akuakultur dengan keseimbangan microbial loop selama 25-30 hari pertama, kemudian RAS tersimplifikasi akan menyaring senyawa organik dan nitrogen toksik berlebih. “Sistem ini dikembangkan untuk meningkatkan kinerja serta efisiensi ZWD dan RAS. Hasilnya memang 3-4 kali lebih tinggi daripada sistem konvensional,” lanjut Prof. Gede.

Terakhir, teknologi akuakultur biofloc menggunakan mikroba fungsional juga ia lakukan. Menurutnya, mikroba tersebut berperan dalam meningkatkan kualitas air, pertumbuhan, dan ketahanan komoditas. Selain itu, pendekatan tersebut juga dapat memanajemen rasio C/N melalui penambahan karbon organik.

Sebagai penutup, Prof. Gede mengungapkan bahwa timnya masih akan terus melakukan riset, khususnya dalam aspek peningkatan pertumbuhan dan resistensi komoditas perikanan terhadap penyakit.

Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)