Pakar ITB Sarankan Pemerintah Lakukan Elektrifikasi Moda Transportasi dan Subsidi Pembelian Kompor Listrik untuk Kurangi Ketergantungan BBM dan LPG

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Ilustrasi penggunaan kompor listrik. Sumber: freepik

BANDUNG, itb.ac.id-Untuk mengurangi dampak negatif dari fluktuasi harga BBM dan LPG terhadap perekonomian nasional, maka dapat dilakukan langkah mengurangi konsumsi BBM di transportasi dan mengurangi penggunaan LPG di rumah tangga. Pengurangan BBM di transportasi bisa dilakukan dengan tiga cara: peningkatan penggunaan biofuel, elektrifikasi kendaraan bermotor, serta perbaikan transportasi massal. Sedangkan di sektor rumah tangga, penggunaan kompor listrik dapat berperan mengurangi konsumsi LPG.

Saat ini, bahan bakar cair yang digunakan secara nasional telah digantikan oleh biofuel, bahkan hingga sebanyak 14%. Melalui usaha ini, pemerintah ingin meningkatkan kontribusi bioefuel di sektor transportasi. Tahun ini, uji coba B40 yang merupakan campuran biodiesel 40% pada bahan bakar diesel juga sedang dilakukan.

Menanggapi isu elektrifikasi kendaraan bermotor dan penggunaan kompor listrik, Ketua Pusat Penelitian Energi Baru dan Terbarukan ITB, Dr. Yuli Setyo Indartono menyatakan bahwa keduanya pun perlu diiringi dengan peningkatan kapasitas pembangkit listrik di tanah air.

Menurut Dr. Yuli, langkah cepat yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan memberikan subsidi pembelian kompor listrik kepada masyarakat menengah ke bawah. “Kalau dulu pemerintah memiliki program penggantian minyak tanah dengan LPG, saat ini waktunya melanjutkan perubahan LPG ke listrik,” jelas Dr. Yuli dalam keterangan tertulis yang diterima Humas ITB, Jumat (19/8).

Di sisi lain, di sektor transportasi, peningkatan jumlah dan kualitas transportasi massal di dalam kota maupun antarkota perlu digarap. Dr. Yuli juga mendukung ikhtiar elektrifikasi kendaraan bermotor yang dapat dipercepat dengan pemberian subsidi pembelian kendaraan listrik dan pembangunan Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU). Semua anggaran yang dibutuhkan dapat diambil dari sebagian pos subsidi BBM.

Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah juga perlu merencanakan pembangunan pembangkit listrik yang baru dan sesuai kebutuhan. “Alokasi subsidi BBM yang besar saat ini, sebagian dapat digunakan untuk pembangunan pembangkit listrik baru yang berbasis energi baru dan terbarukan seperti tenaga air, panas bumi, surya, dan angin,” sebut Dr. Yuli. Pilihan ini sejalan dengan tanggung jawab Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dioksida di atmosfer.

Pengembangan jenis energi baru dan terbarukan lainnya juga harus menjadi bahan konsiderasi, di antaranya biomassa, nuklir, serta laut. Pengembangan clean coal dan carbon capture & storage perlu dilakukan agar batu bara, yang sangat besar jumlahnya di Indonesia, dapat dimanfaatkan tanpa merusak bumi. Pengembangan teknologi penyimpanan energi perlu dilakukan agar kita dapat menggunakan tenaga surya dan tenaga angin skala besar tanpa khawatir dampak intermittency-nya terhadap kestabilan jaringan listrik.

“Jika kita dapat menggunakan separuh saja dari Rp502 trilun untuk melakukan hal-hal ini, mudah-mudahan, Bangsa kita tidak terjerembab lagi pada masalah BBM yang mungkin kembali terjadi di masa mendatang,” pungkas Dr. Yuli.

Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)