Pameran Binar 2019 Tampilkan Interaksi Manusia dan Makanan

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Pengunjung menikmati karya yang dipamerkan dalam Pameran Binar 2019 (Foto: Haura Zidna)

BANDUNG, itb.ac.id -- Sambal-sambal tersaji dalam wadah keramik yang tersusun menjadi gugusan kepulauan nusantara. Di sisi kiri, terdapat kerupuk kemplang yang tersaji dalam kaleng-kaleng kerupuk. Begitulah pengunjung disambut ketika memasuki area Pameran Binar 2019 yang diselenggarakan oleh mahasiswa Kriya ITB. Tentu, kerupuk kemplang tadi boleh dimakan bersama sambal yang ternyata berbeda rasa tergantung pulau keramiknya dalam pameran bertema All You Can Eat ini.


Pameran Binar 2019 berlangsung sejak hari Jumat (30/03) hingga Minggu (31/03) di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space. Dalam pameran yang mengangkat bahasan seputar makanan ini, para seniman yang merupakan mahasiswa jurusan kriya—baik tekstik maupun keramik—dan mahasiswa jurusan seni rupa menuangkan ide-ide dan gagasan yang terlintas lewat karya-karya yang ciamik. Banyak dari karya tersebut terinspirasi dari pengalaman pribadi.

Vanya Ratna Suryatni (Kriya 2016), seniman dengan karyanya yang berjudul “Sepadan, Sebadan” mengisahkan, “Karyaku itu menggambarkan perjalanan kulit aku yang berubah-ubah. Keramik yang beda-beda coraknya itu kulit aku yang berganti. Perempuan kulitnya harus bagus, harus ini, harus itu. Sedangkan, aku yang suka makan pun ternyata dapat masalah karena makanan yang aku makan. Tapi, tumbuh besar sampai saat ini, aku berusaha dan belajar buat self love, buat mencintai diriku sendiri” ceritanya.

Kenangan masa kecil yang mengiringi bertumbuhnya sang seniman juga diwujudkan dalam karya Clara Melvina Gerda Nugroho (Kriya 2016) berjudul “Replika Memori”. Ia mengaku tidak pernah dimasakkan makanan oleh sang ibu. Ia pun memiliki angan-angan untuk dapat melihat bagaimana ibunya memasak. Tumbuh dan berkembang dalam situasi seperti itu, mahasiswi yang akrab disapa Gerda ini mengajak pengunjung ikut merasakan apa yang ia idamkan. Melalui empat indera yakni penglihatan, perabaan, pendengaran, dan penciuman, pengunjung bisa turut meresapi pengalaman tersebut. 

Untuk menyampaikan makna lewat pendengaran, terdapat tape recorder yang dapat didengarkan, berisi suara manusia mencincang bumbu, pun menggoreng lauk. Mencicipi kehidupan di rumah itu dengan rasa, terdapat karpet dari perca yang dapat diduduki atau diinjak hingga pengunjung ikut terhanyut, tentu dengan aroma kunyit yang menguar dari instalasi tersebut.

“Kan ini judulnya Replika Memori, dan tiap orang punya memori sendiri, jadi orang-orang biar membangun memorinya sendiri juga, dengan mencium bau ini, contohnya. Harus lama sih, biar bisa merasakan,” jelasnya.

Banyak pula kritik sosial yang terselip dalam rupa-rupa karya yang tersaji. Iftikhar Ahmad Rajwie (Seni Rupa 2015) adalah salah satu seniman yang mengangkat kritik terhadap fenomena sosial di sekitar kita. Membuat karya keramik berbentuk kerupuk dengan keterangan rasa matcha, ia menampilkan bagaimana masyarakat begitu tergila-gila dengan rasa matcha yang khas gaya hidup masa kini. Ia juga membuat karya satir lain seperti keramik teh kotak berlabel harga 5000 dan keramik square tea—yang sebenarnya sama persis—dengan berlabel harga 10.000, maupun nasi bungkus dengan label merek. 

“Aku menampilkan objek komoditas dengan aku menggabungkan dua simbol dengan kurang lebih satu fungsi yang sama, contohnya nasi bungkus dengan salah satu merek makanan cepat saji. Yang aku perjuangkan adalah sejauh mana fungsi sebuah benda dalam menjadi sebuah komoditas, karena kan teorinya yang aku baca, komoditas adalah barang biasa yang ditarik oleh kegiatan masyarakat menjadi sebuah tren. Nah penarikan itu diikuti dengan penempelan label kelas sosial. Aku mempertanyakan, misalnya apa bedanya kita makan ayam di gerai fastfood sama makan di warteg? Kan sama-sama sudah berhenti fungsinya ketika kenyang,” ujarnya.

Karya kreatif seperti visualisasi rasa yang biasanya hanya dapat dikecap di lidah dan dipadu dengan sejarah rasa makanan dalam hikayat Sunda juga menjadi salah satu karya yang dipamerkan di pameran ini. Dapat ditemui puluhan karya sarat makna yang ditampilkan di Pameran Binar 2019 ini. Katalog mengenai makna karya yang diciptakan pun terdapat pada barcode yang dapat dipindai oleh pengunjung di pameran tersebut.

Pameran Binar 2019 dibuka dengan Performance Art pada Jumat malam. Selain menampilkan karya mahasiswa, terdapat pula talkshow bersama seniman Erik Pauhrizi, Yan Yan Sunarya, seorang pakar batik Sunda, dan Hardian Eko Nurseto, seorang antropolog, terkait “Manifestasi Kriya: Manusia, Dimensi, dan Makna”. Ada pula event lain seperti Workshop, Pojok Baca, serta Masak Ramai, dimana pengunjung dapat ikut memasak bersama panitia dan dapat menikmati santapan gratis di sana. Bagi pengunjung yang ingin membeli buah tangan, terdapat lapak barang-barang seni yang beberapa di antaranya juga merupakan usaha dari para mahasiswa FSRD ITB. Harga produk tersebut pun terjangkau sehingga pengunjung juga ramai mengunjungi lapak yang ada.

Membahas makanan yang dekat dengan kehidupan, ternyata tersimpan makna yang dalam pada setiap gerak laku dan interaksi manusia dengan apa yang dikonsumsinya. Mereka yang berusaha memvisualisasikan fenomena dan pesan esensial seputar pangan manusia ini patut diacungi jempol. Dari Pameran Binar 2019, para pengunjung dapat belajar memaknai kebutuhan primer manusia satu ini, yang sedikit banyak mempengaruhi hajat hidup tiap-tiap individu.

Reporter: Haura Zidna Fikri (Magang IJA 2019)