Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Publik untuk Kesehatan Masyarakat Sekaligus Cegah Pencemaran Udara
Oleh Anggun Nindita
Editor Anggun Nindita
BANDUNG, itb.ac.id – Seberapa seringkah kita melihat ruang terbuka hijau di kota? Mungkin untuk saat ini terbilang cukup jarang. Terlebih, jumlah ruang terbuka hijau semakin berkurang dan tidak berimbang, dibandingkan dengan banyaknya bangunan yang telah memenuhi kota.
Padahal, menurut UN Habitat’s cities prosperities index, jumlah dan kualitas ruang publik terutama ruang terbuka hijau amat penting bagi sebuah kota. Lantaran, hal ini menjadi salah satu indikator kemakmuran kota, yaitu pada komponen index Enviromental Sustainability.
“Ruang terbuka hijau publik memberi dampak positif bagi warga kota dalam beberapa aspek, di antaranya adalah meningkatkan resiliensi mikro klimat, menyediakan ruang hijau alami, bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental, ruang bersama tempat berinteraksi yang mengikat warga kota, menjadikan kota lebih aman, meningkatkan nilai ekonomi kawasan,” ujar salah satu tim peneliti dari Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur (KK PA) SAPPK ITB, Dr. Ir. Mochamad Prasetiyo Effendi Yasin, M.Arch., M.A.UD., melalui keterangan resminya.
Adanya ruang terbuka hijau ini membuat kota lebih sustainable. Sebab, hadirnya pepohonan dan hamparan hijau yang tumbuh tak hanya meningkatkan kadar oksigen di udara, namun juga dapat mengurangi masalah urban heat island, dengan menurunnya suhu lingkungan.
Hal ini juga sekaligus menjadi salah satu target capaian PBB dalam sustainable development goals atau tujuan pembangunan berkelanjutan untuk menurunkan suhu bumi. Keberlanjutan berarti pula meningkatkan kepedulian terhadap kehidupan flora dan fauna lokal di sekitarnya.
Maka dari itu, hadirnya ruang terbuka hijau yang luas di sebuah kota, layaknya nature park atau hutan kota. Di mana di sana tak hanya menyediakan sesuatu yang hijau dan biru, seperti pepohonan dan air, namun juga hadir sebagai suplai oksigen dan tempat rekreasi warga. Sekaligus menjadi tempat konservasi endemik beragam flora dan fauna.
“Dari banyak penelitian telah terbukti bahwa ruang terbuka hijau berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental bahkan dapat meningkatkan kemampuan memori otak. Selain itu, pemanfaatan ruang hijau secara aktif baik berjalan kaki atau berolahraga secara rutin tentu menurunkan kelembaman yang pada gilirannya mengurangi risiko penyakit,” tuturnya.
Tak hanya itu, berinteraksi dengan alam di ruang terbuka hijau dan jauh dari kebisingan, dapat membantu relaksasi, baik untuk fisik maupun mental. Bahkan, seorang peneliti dari Stanford University, Gregory N. Bratman, membuktikan bahwa orang yang berjalan 90 menit di lingkungan alami dapat menurunkan aktivitas otak, hingga dapat menurunkan tingkat stres.
Di sisi lain, seorang peneliti, yakni Payam Dadvand, dalam penelitiannya terhadap anak-anak dan remaja di Eropa, menyebutkan bahwa lingkungan hijau tak hanya berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan mental. Namun juga dapat meningkatkan kemampuan daya ingat, konsentrasi, dan kemampuan belajar.
Manfaat Ruang Hijau untuk Mengatasi Permasalahan Polusi
Laporan Indeks Kualitas Udara Kehidupan (AQLI), yang dirilis beberapa waktu lalu, menyebut Indonesia sebagai salah satu dari enam negara yang paling berkontribusi terhadap polusi udara global.
Indonesia, China, India, Pakistan, Bangladesh, dan India, menyumbang sekitar 75% dari total beban polusi udara global, sebab memiliki tingkat polusi udara yang tinggi serta jumlah populasi yang besar.
Per Senin (4/9/2023) situs resmi IQAir menempatkan Jakarta sebagai kota berpolusi nomor 6. Berdasarkan laporan IQAir, udara di Jakarta berada pada angka 122 dengan polutan utamanya adalah PM 2,5. Meski indeks kualitas udaranya membaik jika dibandingkan dengan beberapa hari sebelumnya, tetap saja udara di Jakarta masih tergolong tidak sehat. Terutama bagi kelompok sensitif.
Lantas, bagaimana dengan kondisi polusi udara di Bandung dan sekitarnya? Meskipun masih masuk dalam kategori kualitas sedang, akan tetapi tingkat polusi di Bandung masih berpeluang menyentuh angka kualitas tidak sehat.
Terlebih, belum lama ini terjadi kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti yang berada di Kabupaten Bandung Barat. Dengan adanya kejadian tersebut, dikhawatirkan dapat menimbulkan pencemaran udara yang lebih parah.
Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Ir. Puji Lestari, Ph.D., menyatakan polusi di Bandung dapat terjadi karena beberapa faktor. “Sebenarnya sumbernya dari bisa dari beberapa hal, sebut saja transportasi atau kemacetan lalu lintas. Kemudian bisa juga dari industri yang boiler-nya (bahan bakarnya) pakai batu bara. Ditambah lagi dengan sekarang lagi musim kemarau yang panjang,” katanya.
ITB sendiri sebagai perguruan tinggi yang mengusung green campus, tentu akan memprioritaskan praktik-praktik ramah lingkungan yang berkelanjutan. Salah satunya juga dengan berupaya untuk menemukan solusi dari masalah pencemaran udara.
“Untuk bisa menanggulangi atau mengurangi polusi tentu tidak bisa. Tapi kita bisa turut berpartisipasi. Salah satunya dengan menggunakan energi yang lebih efiesien. Misalnya berkontribusi dalam uji emisi dalam kendaraan yang keluar dan masuk ke kawasan ITB,” ungkapnya.
Selain itu, beliau pun mengungkapkan penataan ruang hijau yang berada di kawasan ITB Kampus Ganesha pun dapat memberikan dampak positif untuk mengurangi pencemaran udara.
“Dengan adanya kawasan hijau ini, dapat memberikan suasana yang nyaman, adem, dan tidak semrawut. Ketika suasananya sudah nyaman, masyarakat pun akan lebih tergerak untuk berjalan kaki dibandingkan membawa kendaraan. Artinya secara tidak langsung dapat mengurangi juga dampak polusi dari kendaraan,” ujarnya.
Prof. Puji berharap ITB dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat untuk semakin aktif dalam mengurangi dampak pencemaran udara. Termasuk dalam menyediakan ruang publik yang baik untuk kesehatan masyarakat.
Senada dengan Prof. Puji, Dr. Prasetiyo pun mengatakan ruang publik akan lebih berdampak pada kesehatan, baik fisik dan mental, apabila pengalaman di ruang publik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
“Misalnya ruang tebuka hijau jalan menjadi bagian yang dilewati warganya setiap hari ketika menuju tempat kerja, berbelanja atau kampus,” ungkap Dr. Prasetiyo.
Begitu pula dengan pemanfaatan ruang hijau yang berada di kawasan ITB Kampus Ganesha. Diharapkan tak hanya bagi warga kampus saja, namun juga untuk masyarakat di sekitarnya.
“Maka hendaknya jalan tersebut digunakan secara aktif setiap hari. Untuk itu pengaturan naik dan turun penumpang pada transportasi publik, seperti angkot atau ojek online harus di lokasi tertentu. Sehingga dapat direncanakan pergerakan yang terjadi. Mulai dari mahasiswa atau masyarakat turun dari transport publik kemudian berjalan di koridor hijau Jalan Ganesa sampai menuju tujuan akhir,” pungkasnya.