Pembalikan Krisis Sosial Ekologis dan Pengurusan Publik : Berpikir Bersama untuk Indonesia
Oleh prita
Editor prita
BANDUNG, itb.ac.id- Krisis yang mewarnai Indonesia beberapa tahun terakhir memicu para alumni ITB '74 untuk berpikir besar dan mencari solusi bersama untuk krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini. Beberapa tokoh dari angkatan tersebut duduk bersama dan membagi pengetahuannya mengenai krisis dari sudut pandang sosial-ekologis, pendidikan dan budaya, energi dan teknologi, serta industri. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah Dr. Ir. Hendro Sangkoyo, Ir. Hilmi Panigoro, Sujiwo Tejo, Prof. Ida I Dewa Gde Raka, Hokky Situngkir, dan Dr. Ir. Hasroel Thayib APU.
Pemaparan awal mengenai pembalikan krisis sosial ekologis dan pengurusan publik dimulai oleh Dr. Ir. Hendro Sangkoyo. Beliau adalah seorang pakar lingkungan hidup. Alumnus program doktoral di Universitas Cornell, Amerika Serikat ini tercatat sebagai seorang peneliti kepala di School of Democratic Economics (SDE) sekaligus peneliti lepas di bidang lingkungan.
Hadir dalam seminar ini Ir. Hilmi Panigoro memberikan seminar mengenai Industri Energi dan Krisis Sosial-Ekologis. Hilmi menuturkan bagaimana kita harus memanfaatkan sumber daya alam Indonesia dengan tetap menjaga keseimbangan yang ada di alam ini. Hilmi juga menjelaskan mengenai pembangunan sumber energi yang bisa diperbaharui di masyarakat. Karena semakin hari, kebutuhan energi akan terus bertambah dan tidak bisa dihindari seiring pertambahan penduduk. “Pengembangan energi panas bumi, solar cell, nuklir, dan biomass, bisa menjamin tersedianya pasokan energi yang cukup untuk Indonesia,” tegas Hilmi.
Pemaparan yang disampaikan oleh tokoh lainnya pun tak kalah menarik, karena masing-masing merupakan ahli di bidangnya. Ir. Hilmi Panigoro yang berbicara mengenai Industri Energi dan Krisis Sosial-Ekologis menuturkan bagaimana kita harus memanfaatkan sumber daya alam Indonesia dengan tetap menjaga keseimbangan yang ada di alam ini. Pembangunan sumber energi yang bisa diperbaharui di masyarakat menjadi sangat penting, karena semakin hari, kebutuhan energi akan terus bertambah dan tidak bisa dihindari - seiring pertambahan penduduk. "Pengembangan energi panas bumi, solar cell, nuklir, dan biomass, bisa menjamin tersedianya pasokan energi yang cukup untuk Indonesia," tegas Hilmi.
Krisis energi memang sangat menjadi perhatian saat ini. Dr. Ir. Hasroel Thayib APU juga menyoroti permasalahan tersebut.Dalam makalahnya yang berjudul "Energi dan Teknologi demi Menyongsong Masa Depan Indonesia", Hasroel memaparkan korelasi antara pertumbuhan penduduk dan dampak degradasinya pada lingkungan. Beliau juga menawarkan alternatif-alternatif teknologi dan sumber energi baru yang bisa dikembangkan Indonesia dalam menyambut Indonesia di masa mendatang, diantaranya adalah sekam padi yang bisa diubah menjadi solar cell dan bio etanol yang didapat dari pohon aren.
Jiwo menambahkan dengan kembali pada pancasila bisa membawa kita pada kebangkitan dan kejayaan babak baru Nusantara. Mengenai pendidikan, jiwo sangat mengutuk adanya komersialisasi pendidikan. "Negara ini tidak akan maju jika mau sekolah aja susah. Katanya anak jalanan itu dipelihara oleh negara, tapi kenyataannya malah ‘dipelihara’ Babe," ujar Sujiwo Tejo yang disambut gelak tawa oleh peserta seminar.
Hal lain mengenai krisis pendidikan dituturkan dengan apik oleh Hokky Situngkir, Presiden Bandung Fe Institute. Hokky melihat pendidikan sebagai unit transmisi budaya yang bisa diterapkan secara implementatif. Dalam seminarnya Memperbaharui Pendidikan Sains Dasar untuk Pembalikan Krisis Sosial Ekologis. Dia juga menitikberatkan pada pewarisan nilai-nilai untuk tidak merusak alam karena keseimbangan alam merupakan hal vital bagi bumi ini.
Jiwo menambahkan dengan kembali pada pancasila bisa membawa kita pada kebangkitan dan kejayaan babak baru Nusantara. Mengenai pendidikan, jiwo sangat mengutuk adanya komersialisasi pendidikan. "Negara ini tidak akan maju jika mau sekolah aja susah. Katanya anak jalanan itu dipelihara oleh negara, tapi kenyataannya malah 'dipelihara' Babe," ujar beliau.
Hal lain mengenai krisis pendidikan dituturkan dengan apik oleh Hokky Situngkir, Presiden Bandung Fe Institute. Hokky melihat pendidikan sebagai unit transmisi budaya yang bisa diterapkan secara implementatif. Dalam seminarnya Memperbaharui Pendidikan Sains Dasar untuk Pembalikan Krisis Sosial Ekologis. Dia juga menitikberatkan pada pewarisan nilai-nilai untuk tidak merusak alam karena keseimbangan alam merupakan hal vital bagi bumi ini.
Kesempatan langka untuk duduk bersama ini terjadi dalam acara seminar Imperatif Pembalikan Krisis Sosial Ekologis dan Pengurusan Publik yang merupakan kerjasama dari Keluarga Mahasiswa ITB dengan alumni ITB '74. Acara yang diselnggarakan pada kamis (11/02/10) ini didedikasikan sebagai undangan untuk belajar bersama dalam menganalisa penyebab-penyebab krisis yang menggerogoti bangsa ini, juga untuk memberikan solusi atas krisis multidimensi di Indonesia demi generasi yang lebih baik. Dengan membangun kesadaran baru mengenai kelestarian alam dan budaya Nusantara.
"Belajar itu meningkatkan kemampuan untuk bertindak lebih baik. Kita disini untuk sama-sama berbuat. Karena tidak banyak orang yang bisa melakukan hal-hal besar. Namun, banyak yang tidak menyadari kita bisa melakukan hal-hal kecil dengan keperdulian besar untuk suatu hal yang besar," ujar Prof. Ida I Dewa Gde Raka, selaku moderator acara ketika menutup seminar ini. Meskipun raga mereka tidak lagi muda, tetapi mereka memiliki keperdulian dan semangat pemuda demi kemajuan Indonesia.
Hadir dalam seminar ini Ir. Hilmi Panigoro memberikan seminar mengenai Industri Energi dan Krisis Sosial-Ekologis. Hilmi menuturkan bagaimana kita harus memanfaatkan sumber daya alam Indonesia dengan tetap menjaga keseimbangan yang ada di alam ini. Hilmi juga menjelaskan mengenai pembangunan sumber energi yang bisa diperbaharui di masyarakat. Karena semakin hari, kebutuhan energi akan terus bertambah dan tidak bisa dihindari seiring pertambahan penduduk. “Pengembangan energi panas bumi, solar cell, nuklir, dan biomass, bisa menjamin tersedianya pasokan energi yang cukup untuk Indonesia,” tegas Hilmi.
Pemaparan yang disampaikan oleh tokoh lainnya pun tak kalah menarik, karena masing-masing merupakan ahli di bidangnya. Ir. Hilmi Panigoro yang berbicara mengenai Industri Energi dan Krisis Sosial-Ekologis menuturkan bagaimana kita harus memanfaatkan sumber daya alam Indonesia dengan tetap menjaga keseimbangan yang ada di alam ini. Pembangunan sumber energi yang bisa diperbaharui di masyarakat menjadi sangat penting, karena semakin hari, kebutuhan energi akan terus bertambah dan tidak bisa dihindari - seiring pertambahan penduduk. "Pengembangan energi panas bumi, solar cell, nuklir, dan biomass, bisa menjamin tersedianya pasokan energi yang cukup untuk Indonesia," tegas Hilmi.
Krisis energi memang sangat menjadi perhatian saat ini. Dr. Ir. Hasroel Thayib APU juga menyoroti permasalahan tersebut.Dalam makalahnya yang berjudul "Energi dan Teknologi demi Menyongsong Masa Depan Indonesia", Hasroel memaparkan korelasi antara pertumbuhan penduduk dan dampak degradasinya pada lingkungan. Beliau juga menawarkan alternatif-alternatif teknologi dan sumber energi baru yang bisa dikembangkan Indonesia dalam menyambut Indonesia di masa mendatang, diantaranya adalah sekam padi yang bisa diubah menjadi solar cell dan bio etanol yang didapat dari pohon aren.
Jiwo menambahkan dengan kembali pada pancasila bisa membawa kita pada kebangkitan dan kejayaan babak baru Nusantara. Mengenai pendidikan, jiwo sangat mengutuk adanya komersialisasi pendidikan. "Negara ini tidak akan maju jika mau sekolah aja susah. Katanya anak jalanan itu dipelihara oleh negara, tapi kenyataannya malah ‘dipelihara’ Babe," ujar Sujiwo Tejo yang disambut gelak tawa oleh peserta seminar.
Hal lain mengenai krisis pendidikan dituturkan dengan apik oleh Hokky Situngkir, Presiden Bandung Fe Institute. Hokky melihat pendidikan sebagai unit transmisi budaya yang bisa diterapkan secara implementatif. Dalam seminarnya Memperbaharui Pendidikan Sains Dasar untuk Pembalikan Krisis Sosial Ekologis. Dia juga menitikberatkan pada pewarisan nilai-nilai untuk tidak merusak alam karena keseimbangan alam merupakan hal vital bagi bumi ini.
Jiwo menambahkan dengan kembali pada pancasila bisa membawa kita pada kebangkitan dan kejayaan babak baru Nusantara. Mengenai pendidikan, jiwo sangat mengutuk adanya komersialisasi pendidikan. "Negara ini tidak akan maju jika mau sekolah aja susah. Katanya anak jalanan itu dipelihara oleh negara, tapi kenyataannya malah 'dipelihara' Babe," ujar beliau.
Hal lain mengenai krisis pendidikan dituturkan dengan apik oleh Hokky Situngkir, Presiden Bandung Fe Institute. Hokky melihat pendidikan sebagai unit transmisi budaya yang bisa diterapkan secara implementatif. Dalam seminarnya Memperbaharui Pendidikan Sains Dasar untuk Pembalikan Krisis Sosial Ekologis. Dia juga menitikberatkan pada pewarisan nilai-nilai untuk tidak merusak alam karena keseimbangan alam merupakan hal vital bagi bumi ini.
Kesempatan langka untuk duduk bersama ini terjadi dalam acara seminar Imperatif Pembalikan Krisis Sosial Ekologis dan Pengurusan Publik yang merupakan kerjasama dari Keluarga Mahasiswa ITB dengan alumni ITB '74. Acara yang diselnggarakan pada kamis (11/02/10) ini didedikasikan sebagai undangan untuk belajar bersama dalam menganalisa penyebab-penyebab krisis yang menggerogoti bangsa ini, juga untuk memberikan solusi atas krisis multidimensi di Indonesia demi generasi yang lebih baik. Dengan membangun kesadaran baru mengenai kelestarian alam dan budaya Nusantara.
"Belajar itu meningkatkan kemampuan untuk bertindak lebih baik. Kita disini untuk sama-sama berbuat. Karena tidak banyak orang yang bisa melakukan hal-hal besar. Namun, banyak yang tidak menyadari kita bisa melakukan hal-hal kecil dengan keperdulian besar untuk suatu hal yang besar," ujar Prof. Ida I Dewa Gde Raka, selaku moderator acara ketika menutup seminar ini. Meskipun raga mereka tidak lagi muda, tetapi mereka memiliki keperdulian dan semangat pemuda demi kemajuan Indonesia.