Pentingnya Pemahaman Mengenai Cuaca Ekstrem Indonesia kepada Masyarakat Agar Tidak Terpapar Hoax
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Cuaca ekstrem semakin sering terjadi akibat pemanasan global yang memburuk seiring waktu. Fenomena cuaca yang timbul seperti banjir dan kekeringan berdampak buruk bagi lingkungan maupun masyarakat. Namun, banyak orang di Indonesia belum memahami permasalahan sepenuhnya.
Dalam rangka mengedukasi hal-hal seputar cuaca ekstrem, ITB mengadakan workshop daring berjudul “Cuaca Ekstrem: Hoax kah?” di hari Sabtu (18/06/2022). Kegiatan ini terbuka untuk umum dan mengundang tiga narusumber untuk berdiskusi: Dr. Joko Wiratmo, M.P.; Siswanto, M.Sc. Ph.D. (cand); dan Prof. Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc.
Dr. Joko menekankan pentingnya pemahaman cuaca ekstrem di Indonesia sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kesadaran terhadap cuaca ekstrem juga dapat membantu masyarakat dalam menemukan solusi terbaik untuk membangun resiliensi dan adaptasi terhadap persoalan tersebut. “Penyampaian informasi mengenai cuaca perlu ilmu pengetahuan yang cukup kuat supaya informasi-informasi berseliweran yang cenderung tidak benar dapat dihindari,” kata Wakil Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Agus Mochamad Ramdhan, S.T, M.T, Ph.D., menambahkan.
Pemaparan pertama dimulai dengan Dr. Joko, Ketua Pelaksana acara ini. Sebagai dosen Program Studi Meteorologi FITB ITB, dia menjelaskan bahwa informasi cuaca sering dikemas secara tidak tepat. Berita-berita yang disebut dengan hoaks ini sering viral dengan tanggal dan hari kejadiannya tidak jelas. Selain sumber berita tidak kompeten, informasi yang disampaikan terkesan tidak ilmiah.
“Misal berita-berita yang menyebabkan keresahan segera ditangkal dengan pemberitaan tepat dari media-media massa, jumlah hoaks yang beredar dapat berkurang dan masyarakat terdidik dengan informasi yang benar.”
Secara teori, dunia mempunyai enam subsistem yang melingkupi iklim keseluruhan: atmosfer, hidrosfer, kriosfer, biosfer, litosfer, dan humanosfer. Semua bagian tersebut saling berinteraksi untuk menghasilkan iklim yang kompleks. Maka dari itu, permasalahan ilkim tidak hanya dilhat dari segi atmosfernya saja, tetapi dilihat juga dari semua subsistem yang mempengaruhi kondisi iklim di waktu tertentu.
Cuaca atau iklim ekstrem ditandai dengan nilai parameternya jauh di bawah atau di atas normal dan diakibatkan oleh faktor alam dan manusia. “Sebagian besar penyebab perubahan iklim adalah dari faktor manusia sebesar 90%,” Dr. Joko membahas.
Dr. Joko menambahkan, “Oleh karena itu, pengendalian perubahan iklim dimulai dari merubah perilaku manusia saat ini.” Aksi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi ini adalah lebih aktif and responsif menyuarakan kebenaran ilmiah kepada orang-orang di media massa maupun media sosial. Masyarakat juga dianjurkan untuk meneliti setiap berita atau fenomena alam yang terjadi di sekelilingnya agar informasi yang didapatkan faktual.
Sesi diskusi kedua dipimpin oleh Peneliti Muda Bidang Meteorologi dan Klimatologi di Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), Siswanto. Dia menerangkan bahwa WMO (World Meteorological Organization) telah rilis pernyataan 2021 adalah tahun terpanas kedua bumi. Peningkatan suhu global ini adalah sinyal pasti pemanasan global bukan hoaks dan sedang berlangsung. Indonesia sendiri mengalami dampak pemanasan global. Dari studi yang dilakukan oleh BMKG, suhu permukaan negara menunjukkan tren peningkatan selama 40 tahun terakhir.
Salah satu pemicu kenaikan suhu adalah pengembangan perkotaan yang seringkali mengubah lingkungan sekitar dengan cepat. Peningkatan pemanasan lokal ini lebih cepat dibandingkan dengan daerah pendesaan. Laporan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) 2021 mengumumkan bahwa total bencana yang terjadi pada tahun tersebut berjumlah 197, di mana 96% diakibatkan dari bencana hidrometerologi yang berkaitan dengan cuaca dan iklim ekstrem.
WMO memberitakan bahwa keadaan suhu rata-rata global semua permukaan bumi di tahun 2020 hingga 2024 akan terus meningkat sekurang-kurangnya 1oC, dan ada 20% kemungkinan kenaikan ini melebihi 1.5oC dalam kurun satu tahun. Konsekuensi kenaikan drastis suhu bumi adalah peningkatan daya tangkap uap air di atmosfer yang mendatangkan banyak ancaman bencana hidrometoerologi, contohnya adalah curah hujan ekstrem dan banjir besar.
Selanjutnya adalah sesi pemaparan dari Prof. Eddy, peneliti ahli utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Dia menjelaskan topik-topik cuaca ekstrem yang sering kena isu hoaks, yaitu hujan deras dan banjir, pemanasan global, serta kekeringan dan gelombang panas. Untuk perkara kekeringan, Indonesia pernah mengalaminya saat kemarau basah 2020 dan 2021. Fenomena ini diprediksi akan kembali tahun ini di bulan Juni-Agustus.
“Harus kita pahami bahwa walaupun Indonesia benua maritim, cuaca tiap daerah bervariasi,” dia mengatakan. Ada kawasan yang tipe hujannya monsoonal dan ada kawasan lain yang tipe hujannya anti-monsoonal atau equatorial. Tiap kawasan dengan tipe hujan berbeda mempunyai respons berbeda.
Data musiman berbasis indeks IOD menunjukkan curah hujan pada bulan Juni 2022 sudah di atas normal, sehingga prakira hujan di bulan Agustus dan September kemungkinan semakin besar. Dalam jangka panjang, pola cuaca La-Nina mendominasi data musiman CPC (Climate Prediction Center) sejak musim kemarau 2020.
Jika mengikuti tren ini, musim kemarau basah sepertinya akan berlanjut hingga akhir September atau awal Oktober 2022 yang dipengaruhi oleh IOD berfase negative. Cuaca ini hanya terjadi pada kawasan-kawasan IOD di Samudera Hindia yang bertipe hujan monsoonal.
Reporter: Ruth Nathania (Teknik Lingkungan, 2019)