Prof. Daryono Hadi dan Pandangannya dalam Menghasilkan Riset yang Unggul dan Mampu Bersaing
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id -- Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) memberikan anugerah Academic Leader Award 2019 kepada Prof. Dr. Daryono Hadi Tj. Apt., M.Sc.Eng atas kontribusinya dalam bidang kesehatan. Pemberian penghargaan dilakukan di Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Prof. Daryono adalah Guru Besar di Kelompok Keahlian Farmakokimia pada Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB). Baginya, penghargaan dari Kemenristekdikti tersebut adalah sebuah bentuk pengakuan akan kepakaran dan kompetisi di bidang kesehatan, khususnya farmasi, terutama dalam drug discovery and development.
Berbicara tentang kemajuan ilmu kesehatan, terutama farmasi sebagai applied science, menurut Prof. Daryono, secara umum sebetulnya tidak terlalu jauh dibandingkan dengan negara lain yang sering dijadikan benchmark. Semua yang bisa dilakukan di negara lain, sebenarnya bisa dilakukan pula di Indonesia asalkan, fasilitas, infrastruktur, dan kebijakan yang terkait ada dan mendukung.
"Sebagai contoh, kita tidak bisa melakukan (sangat minim) riset-riset yang frontier, karena ketiadaan fasilitas dan belum konsistennya dukungan dana," ujar lulusan Keio University, Jepang itu.
Menurut pandangan Prof. Daryono, dalam menjalankan penelitian di bidang kesehatan, yang diperlukan adalah tidak hanya kemampuan mengelola dan memimpin tim penelitian sehingga menghasilkan publikasi dan karya-karya inovatif yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat saja, tetapi perlu juga kegigihan, kesabaran, dan istiqomah dengan keterbatasan bahan kimia dan pereaksi yang sulit diperoleh. "Intinya kami harus mencari tema-tema penelitian yang dapat dilakukan di Indonesia," ujarnya kepada Humas ITB.
Untuk itu, ia berpendapat ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan ITB dalam rangka meningkatkan produktivitas riset, diantaranya adalah pertama, pemerintah harus jelas kebijakan dalam pengembangan sains dan teknologi, dengan segala konsekuensi pendanaan dan fasilitasnya.
Kedua, dana dari lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP) seharusnya dapat digunakan untuk pengembangan program pascasarjana dalam negeri, dengan merekrut calon mahasiswa yang berkemampuan akademik sangat baik, seperti program magister doktor sarjana unggul (PMDSU).
Ketiga, selain harus mempunyai program unggulan dan prioritas, ITB juga harus berani merekrut tenaga khusus peneliti, dengan jenjang karir yang jelas.
Selanjutnya yang keempat, ITB harus meningkatkan jumlah kerjasama riset dengan univeritas dan institusi penelitian terbaik di dunia. Kelima adalah para dosen dan peneliti jangan disibukkan laporan administrasi dan keuangan, yang penting akuntabilitas dan transparasi penggunaan dana riset terjaga, dan keenam ialah apresiasi yang cukup untuk dosen dan peneliti yang punya publikasi dan penulisan buku.
"Semua orang punya kemampuan, dan prosentase orang Indonesia berkemampuan akademik di atas rata-rata sangat mencukupi. Begitu mereka diberikan kesempatan dan difasilitasi, mereka akan cepat mengejar yang di depan. Satu kekurangan yang harus diperbaiki adalah daya juang/kegigihan, keajegan/istiqomah, dan kedisiplinan," pesannya.