Prof. Dr.-Ing.Ir. Widjaja Martokusomo: Walkability, Kembalikan Fungsi Kota Melalui Kaidah Desain Universal

Oleh Nida Nurul Huda

Editor Nida Nurul Huda

BANDUNG, itb.ac.id - Alangkah baiknya modernisasi sebuah kota selalu meninjau kembali kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Konsep Desain Universal (barrier free design) diperlukan dalam perancangan dan penataan kota agar keseluruhan fungsi kota dapat dirasakan sebaik-baiknya oleh seluruh elemen masyarakat. Salah satu fungsi yang begitu vital adalah fungsi jalur pejalan kaki dalam ruang ruang terbuka. Hal demikian belum menjadi fokus utama pembangunan kota di Indonesia. Jalur pejalan kaki belum bisa dirasakan fungsinya oleh semua komponen masyarakat, terutama masyarakat berkebutuhan khusus. Kondisi tersebut mengawali kegiatan penelitian walkability oleh Prof. Dr.Ing. Widjaja Martokusumo, dosen program studi Arsitektur ITB.Penelitian ini kemudian dilanjutkan menjadi penelitian disertasi mahasiswanya mengenai wayfinding (sistem penunjuk arah yang meliputi komponen arsitektur) pada orang berkebutuhan khusus. Walkability dimulai dari pembentukan tim untuk meninjau jalur pejalan kaki. Penelitian yang bertajuk "Walkability of Bandung's Public Open Space" tersebut mengambil trotoar di Jalan Dago/H. Juanda, Bandung sebagai lokasi penelitian.

Walkability berkaitan dengan kemampuan seberapa baik sebuah area dapat digunakan untuk berjalan kaki. "Dalam masyarakat demokratis, dihargainya harkat manusia itu bisa terlihat jika ia memiliki tempat untuk berjalan dengan aman dan nyaman," ujar Widjaja, yang juga Ketua Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur di Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kota (SAPPK). Hal ini berkaitan dengan ruang terbuka yang ramah dan universal bagi masyarakat umum. Terpenuhinya persyaratan walkability pada jalur pejalan kaki akan merepresentasikan lingkungan kota yang bermartabat, yang di dalamnya mengakomodasi nilai-nilai demokratis masyarakat.

Penelitian yang dilakukan sejak dua, dalam pelaksanaannya telah melibatkan tiga puluh responden yang berasal dari berbagai kalangan. Hal yang menarik, selain mahasiswa, penelitian ini juga turut mengundang dinas-dinas kota terkait di Bandung (Bina Marga dan Pengairan, Tata Ruang dan Cipta Karya, Pertamanan, dan Pemakaman) untuk turut mengobservasi jalan secara langsung. Hal yang diperhatikan adalah kualitas dari jalur pejalan yang meliputi kedataran, lebar jalur, suasana, serta kenyamanan dan keselamatan pengguna. Selanjutnya, dilakukan pemetaan dengan menandai tempat-tempat yang dianggap menarik dan tidak menarik, serta nyaman dan tidak nyaman. Sewaktu berjalan menyusuri jalan tersebut, partisipan juga diminta untuk mengambil gambar yang kemudian akan disortir sesuai kategorinya.

Walkability sebagai Generator Masyarakat yang Lebih Sehat, Cerdas, dan Interaktif

Hasil histogram dari observasi responden yang merupakan praevaluasi dalam Riset Inovasi ITB 2013 menunjukkan bahwa, meski kualitas fisik tidak sesempurna jalur pejalan kaki di negara maju, terdapat tempat-tempat yang memiliki desain yang dinilai relatif baik. Tempat-tempat antara lain dideskripsikan sebagai tempat yang teduh, memiliki objek yang menarik, memenuhi kelengkapan infrastruktur yang baik, maupun lapang. Dari hasil pengolahan data terdapat indikasi bahwa tempat yang dikategorikan baik hanya sebatas pada kemudahan,  belum memenuhi kategori desain yang ramah bagi keseluruhan masyarakat umum, termasuk kaum difabel. Padahal menurut pandangan Widjaja dan tim, jika masyarakat umum saja tidak merasa nyaman dan aman dalam menggunakan jalur pejalan kaki bagaimana mungkin area yang sama mampu mengakomodasi masyarakat berkebutuhan khusus.

Selain kotor dan memiliki permukaan yang berundulasi, beberapa tempat memang sama sekali tidak dapat diakses. Keadaan jalur pejalan kaki yang tidak memenuhi kriteria Desain Universal justru mendemotivasi masyarakat untuk berjalan. "Ada hubungan yang erat antara kualitas jalur pelajan kaki dengan pengalaman masyarakat sebagai pengguna, khususnya dalam kaitan terhadap tingkat walkability-nya," tuturnya. Pengalaman buruk yang mungkin mereka dapatkan di jalan akan memicu semakin kecilnya penggunaan jalur pejalan kaki pada ruang publik. Lebih jauhnya, akan berdampak pada menurunnya produktivitas masyarakat secara umum, lahirnya pola hidup konsumtif dan risiko obesitas. Dari aspek sosial, kondisi ini dapat membentuk generasi individualistis dengan daya pikir yang tumpul akibat menurunnya frekuensi interaksi dengan sesama manusia dan lingkungan sekitar. "Perhatian pemerintah saat ini terhadap jalur pejalan kaki selalu terlewatkan, padahal  jalur pejalan ini merupakan hal yang sangat mendasar," tambah Widjaja. Konsep walkability memiliki urgensi besar sebagai dasar perancangan dan penataan kota, khususnya bagi penyusunan dan implementasi peraturan dan standar perancangan ruang terbuka publik pada lingkungan perkotaan.

Metamorfosis Tata Kota di Masa Depan
Membentuk tata kota yang baik harus selaras dengan semua kalangan dan segala bentuk kepentingannya. "Kami, para arsitek, perancang kota, dan perencana kota, adalah sebagian kecil dari  penentu kebijakan dan politik pembangunan kota. Tanpa dukungan dari pemerintah dan masyarakat, semuanya akan sulit," ujar Widjaja. Namun, ia yakin bahwa hal tersebut bukanlah mustahil. Ia menegaskan bahwa keberanian dan komitmen pemerintah kembali menjadi sesuatu yang mutlak dalam memangku berbagai kepentingan agar mendukung tercapainya walkability pada jalur-jalur pejalan kaki.

Telepas dari itu, perwujudan hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat. Layaknya perkembangan gerak manusia mulai dari merangkak, berjalan, hingga dapat berlari kencang saat sudah dewasa, kota yang matang tidak dihasilkan dalam waktu yang pendek. Butuh waktu yang panjang sampai sebuah kota mampu dengan baik memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya. Contoh, kota Shanghai yang kini maju dan memiliki banyak ruang terbuka dengan jalur pejalan kaki yang mumpuni ternyata telah menggodok konsepnya sejak awal pertengahan abad dua puluh. Contoh lain, kota Curtiba di Brazil yang telah mendapatkan pengakuan internasional akan kebijakan perencanaan kota berbasis transportasi. Jadi, bukanlah sesuatu yang aneh, jika masyarakat Indonesia kini merasa tertinggal. "Seperti ketika Marco Polo dalam perjalanannya menjumpai kota yang akhirnya ditinggalkan karena kondisinya sangat tidak nyaman" ujar Widjaja, ketika menceritakan analogi kota yang terpuruk dari buku karya Italo Calvino, Invisible Cities. Lebih lanjut menurutnya, yang lebih penting adalah bagaimana kita mau belajar dan mencontoh kota-kota lain yang sudah berkembang serta melepaskan keterpurukan kita sepenuhnya. Oleh karenanya, saat ini bagi mahasiswa mutlak untuk merekognisi diri kembali tentang tujuan menempuh pendidikan di perguruan tinggi yang tidak lain menjadi harapan akan perubahan bangsa yang lebih baik.

"Kita masih berproses untuk mencapai ke arah sana. Mungkin yang nantinya dapat menikmati hasil dari titian kerja keras kita sekarang adalah generasi anak-anak kalian nanti, " tambah Widjaja.

 oleh:

ITB Journalist Apprentice 2015

Vinskatania Andrias

Bayu Prakoso

Cintya N. Natawijaya