Prof. Dr. Iwan Pranoto: UN Tidak Bisa Dijadikan Multimeter

Oleh Shabrina Salsabila

Editor Shabrina Salsabila

BANDUNG, itb.ac.id - Seperti pada tahun-tahun sebelumnya Ujian Nasional (UN) kembali dilaksanakan untuk siswa sekolah dasar dan menengah di Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, UN yang bertujuan untuk meningkatkan standar pendidikan di Indonesia ini pun mengalami perombakan pada beberapa bagian. UN yang awalnya digunakan untuk mengukur pemerataan pendidikan di Indonesia, kini digunakan sebagai persyaratan untuk masuk ke jenjang berikutnya. Pro dan kontra mengenai UN pun bermunculan dari praktisi-praktisi di bidang pendidikan, salah satunya adalah Guru Besar Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB, Prof. Dr. Iwan Pranoto.

Ujian yang berskala nasional atau regional memang perlu untuk dilaksanakan, tetapi perlu ditekankan lagi bahwa tujuan dari ujian ini dilakukan untuk mengukur layanan pendidikan dari pemerintah Indonesia, bukan berfokus pada penilaian siswanya. Berdasarkan pemaparan Prof. Iwan terdapat tiga jenis distribusi untuk setiap jenis ujian, yaitu distribusi normal, distribusi positif, dan distribusi negatif. Menurut Prof. Iwan apabila ujian dilaksanakan untuk mengevaluasi layanan pendidikan seharusnya soal yang dikeluarkan tingkat kesulitannya akan terdistribusi secara normal atau seimbang. Terdapat soal yang sangat sulit dan sangat mudah sehingga dapat terlihat perbedaannya siswa yang memahami materi atau tidak.

Untuk distribusi positif merupakan jenis ujian untuk seleksi perguruan tinggi atau olimpiade. Karena akan menghasilkan hanya sedikit yang lolos dari ujian tersebut. Jadi benar-benar menguji apakah peserta ujian benar-benar memiliki kompetensi yang dibutuhkan atau tidak. Kemudian untuk distribusi negatif merupakan ujian untuk kelulusan siswa karena akan menghasilkan kemungkinan untuk tidak lulus yang sangat kecil.

Dalam sistem yang digunakaan saat ini adalah ketiga jenis yang seharusnya memiliki parameter berbeda tersebut disatukan dalam Ujian Nasional sehingga tidak cukup menilai apakah layanan pendidikan di Indonesia sudah terstandarisasi dengan baik atau tidak. Pada kebijakan tahun 2013 ini hasil UN digunakan pula sebagai penilaian untuk masuk ke jenjang berikutnya. "UN tidak dapat dijadikan sebagai multimeter," ujar Prof. Iwan.

Prof. Iwan juga berpendapat bahwa peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebagai pompa atau pendorong akan kemajuan pendidikan di Indonesia bukan sebagai filter yang menilai layak atau tidaknya siswa untuk lulus dari sekolahnya. UN juga dinilai kurang efektif untuk menilai kemampuan siswa karena dari tiga dan enam tahun proses pembelajaran hanya dinilai dalam empat atau tiga hari saja.

Dengan diselenggarakannya UN sebagai alat untuk membakukan kemampuan siswa akan mengakibatkan kemampuan siswa di Indonesia akan sama. "Nanti tidak akan ada lagi yang mau menari atau melukis karena tidak diujiankan dalam UN, guru pun akan menjadi tidak bebas saat mengajar karena hanya terpaku pada materi UN saja," ujar Prof. Iwan.

Dibutuhkan Tiga Jenis Ujian

Oleh karena itu Prof. Iwan menyimpulkan bahwa untuk mencapai ketiga tujuan tersebut seharusnya diadakan tiga ujian berbeda dengan distribusi tingkat kesulitan yang berbeda pula seperti ditunjukkan pada grafik yang dijelaskan sebelumnya.

Ujian yang dilakukan untuk menilai layanan pendidikan dari pemerintah seharusnya dilakukan dengan menggunakan tingkat kesulitan yang berdistribusi secara normal. Nantinya hasil ujian ini akan dianalisis dan dapat terlihat daerah mana saja yang belum mendapatkan layanan pendidikan yang baik. Ujian ini pun tidak perlu dilakukan setiap tahun karena bersifat evaluatif selain itu juga  ujian ini sebaiknya tidak dilaksanakan pada semester terakhir karena siswa tidak dapat merasakan hasil dari evaluasi tersebut. Evaluasi dapat berupa penambahan fasilitas sekolah, buku pelajaran, atau kualitas pengajar. Metoda sampling pun dapat digunakan dalam persebaran ujian ini sehingga tidak seluruh siswa harus mengikuti ujian ini. Hal ini pun dapat mengurangi dana yang dianggarkan untuk pelaksanaan UN. Pada tahun ini saja pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar 543,45 miliar rupiah untuk penyelenggaraan UN.

Ujian yang menentukan kelulusan siswa sebaiknya ditentukan oleh sekolah masing-masing. Karena seharusnya setiap sekolah memiliki standar kelulusan yang berbeda-beda berdasarkan riwayatnya selama tiga atau enam tahun siswa belajar di sekolah tersebut.

Untuk ujian yang bertujuan untuk menyaring siswa ke jenjang selanjutnya dapat dilakukan dengan ujian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga sesuai dengan kriteria siswa yang diinginkan. Misalnya seperti apa yang dilakukan oleh ITB sebelumnya yaitu menyelenggarakan Ujian Saringan Masuk ITB (USM ITB) yang dapat menilai kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang mahasiswa ITB. "Setiap perguruan tinggi pasti memiliki kriteria mahasiswa yang berbeda-beda, jadi tidak dapat distandarisasi dengan satu jenis tes, misalnya untuk jurusan seni rupa tidak dapat diseleksi dengan UN," ujar Prof. Iwan.

Sumber Foto:

www.ciricara.com

www.bincangedukasi.com