Forum Guru Besar ITB Kupas Epistemologi Pendidikan Indonesia

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami


BANDUNG, itb.ac.id—Komsisi III Forum Guru Besar (FGB) Institut Teknologi Bandung (ITB) mengupas epistemologi pendidikan pada Kamis (12/8/2021). Mereka mengupasnya melalui webinar “Membingkai Ulang Basis Epistemologi Pendidikan dalam Menghadapi Masa Depan”. Hal itu dilakukan guna menyusun rekomendasi atas sistem pendidikan Indonesia.

Webinar berlangsung melalui Zoom dan YouTube. Komisi III FGB ITB mengundang empat narasumber dari tiga universitas berbeda. Mereka adalah Dr. dr. Taufik Pasiak, M.Pd.I., M. Kes. (Dekan Fakultas Kedokteran UPNVJ), Prof. Imam Buchori Zainuddin (FSRD ITB), Prof. Iwan Pranoto, Ph.D. (FMIPA ITB), dan Prof. Dr. Amin Abdullah (AIPI dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Neurosains dalam Pendidikan

Taufik Pasiak, seorang neurosaintis, menjadi narasumber pertama. Dia menyampaikan tentang “Kontribusi Neurosains dalam Pendidikan sebagai Interaksi Dinamis antara Elemen Fisik, Mental, Sosial, dan Spiritual.” CEO dan Founder Sekolah Otak Indonesia ini menegaskan, otak tidak bisa dipisahkan dari entitas manusia.

Taufik juga menekankan konsep, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari empat elemen, yaitu fisik, mental, sosial, dan spiritual. Dia menjelaskan sejarah dari filsuf dan neurolog yang menemukan interaksi sangat kuat dengan keempat elemen tersebut, seperti Sigmun Freud dan Ibnu Sina.

Taufik kemudian menjelaskan evolusi otak manusia dari semula. Evolusinya terjadi berurutan dari the reptilian brain (instinctive), the mammalian brain (emotional), dan the new brain (analytical). Dewasa ini, masyarakat lebih fokus kepada Neo-cortex,?pendidikan kognitif seperti IQ yang justru tumbuh paling akhir dari perkembangan otak manusia. Seolah-olah otak hanya urusan kecerdasan. Padahal mustahil untuk membicarakan pendidikan manusia yang mencerahkan kalau mengabaikan living machine, otak manusia yang mengonstruksi semua proses pendidikan manusia.

“Pendidikan tidak cukup hanya mencerdaskan manusia,” katan Taufik. “Pendidikan harus mengajari yang bersangkutan bagaimana dia melakukan kendali diri dan pada tiitk tertinggi. Bagaimana hidupnya jadi bermakna pada kehidupan.”

Kreativitas dan Pendidikan “Inside-Out”

Imam Buchori Zainuddin menjadi narasumber kedua dengan mengangkat tema “Pendidikan Berbasis Neuroplastisitas: Mengembangkan Daya Kreatif dan Inovatif Remaja.” Dia mengungkapkan, pada abad 19, semua dikuasai oleh dokter dan psikiater sehingga psikolog disebut dengan psychophysics (cabang dari fisika). Kemudian, psikoanalisis pelan-pelan menganalisis dari sudut filsafat. Setelah itu, lahirlah ilmu psikologi. Seorang pemerhati pendidikan ini menyampaikan phenomenology sebagai reaksi dari positivism (positivisme). Positivisme merambah ke arah behaviorism, yaitu melihat semua dari sudut kompetensi, fungsi, struktur, dan hal lain yang dapat diukur.

Pada zaman ekonomi industri, positivisme sangat maju sehingga pendidikan dikaitkan dengan masalah tenaga kerja dan kompetensi orang-orang tersebut sesuai bidang pekerjaannya. Akibatnya, orang-orang diukur dari kompetensi-kompetensi yang sebenarnya dari pasar kerja.

Jika pendekatan masih kepada behavioristic tadi, Imam menyebut pendidikan di Indonesia masih ‘outside-in’. Dia membandingkannya dengan Ki Hadjar Dewantara yang memberikan kebebasan kemerdakaan sehingga proses yang diterapkan adalah ‘inside-out’—dari siswa ke luar. Menurutnya, Ki Hadjar Dewantara memiliki obsesi untuk memerdekakan bangsanya, tidak semata-mata untuk sesuatu yang sifatnya umum.

Dikotomi Pendidikan Menegah Atas

Iwan Pranoto, narasumber ketiga, merupakan seorang matematikawan ITB. Dia mengusung tajuk “Membingkai Ulang Pendidikan Menegah Atas Menghadapi Dunia Pengetahuan yang Semakin Beragam dan Bersilangan”. Iwan menitikberatkan dikotomi ilmu sosial humaniora dan sains yang diberlakukan pada pendidikan menengah atas.
Iwan membandingkan Indonesia dengan negara lain perihal keberagaman pengetahuan dan lintas disiplin yang diterapkan pada kurikulum di luar negeri. Setelah itu, dia mengatakan, remaja seharusnya berkonsentrasi membangun kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi yang luas.

Amin Abdullah menjadi narasumber terakhir. Dia menekankan ilmu yang tidak monodisiplin melalui materinya berjudul “Memformat Kembali Tapal Batas Ilmu Pengetahuan: Reviltalisasi Kebijakan Pendidikan”. Amin mengangkat gagasan akan tingginya kebutuhan multi-, inter-, dan transdisiplin serta ajakan untuk meninggalkan monodisiplin atau jalur tunggal disiplin ilmu.

Amin menyampaikan bahwa pendidikan tinggi semakin menyempit dan berbasis disiplin tunggal atas nama spesialisasi sehingga siswa tahu sedikit di luar bidang mereka (cross cultural literacy rendah). Epistemologi pendidikan masa depan, tuturnya, haruslah dengan basis keilmuan bercorak lintas disiplin dengan Higher Order of Thinking Skills (HOTs).

Reporter: Hasna Khadijah S. L (Teknik Lingkungan ITB 2019)