Prof. Reini D. Wirahadikusuma : Kartini dari Bidang Teknik Sipil
Oleh Ahmad Fadil
Editor Ahmad Fadil
Bandung, itb.ac.id - 21 April selalu mengingatkan kita pada sosok pahlawan nasional yang berjuang demi kesetaraan bagi kaum perempuan, ya dialah R.A.Kartini. Kala itu, ia tidak takut walau harus mengalami kesendirian dalam perjuangannya. Ide-ide dan pemikirannya masih diperjuangkan sampai hari ini.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki banyak 'Kartini' di berbagai macam profesi dan ragam cara berjuangnya, termasuk 'Kartini' dari Institut Teknologi Bandung.
Untuk itu, reporter humas ITB pada kesempatan kali ini akan memperkenalkan sosok Prof. N.R Reini D. Wirahadikusuma, seorang Guru Besar dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, yang juga seorang Kartini masa kini.
Meski berada di lingkungan Teknik Sipil yang cukup maskulin karena banyak diisi oleh kaum laki-laki, ia tidak merasa terganggu oleh keadaan tersebut. "Saya merasa lingkungan saya adalah tantangan bagi saya untuk berkembang," ucapnya seraya tersenyum.
Prof. Reini adalah seorang lulusan SMA Tarakanita Jakarta - sebuah sekolah Katolik yang diisi khusus oleh anak perempuan. Walau Reini beragama Islam, ia justru menikmati perbedaan yang ada dan menjadikannya sebagai bahan eksplorasi baru. Ini juga yang membuatnya mau untuk memilih ITB sebagai tempat kuliah dan Teknik Sipil yang sangat "laki-laki" pada zamannya sebagai jurusan. "Selain Ayah saya yang ITB, ya kebiasaan terhadap hal-hal berbeda menjadikan saya terus ingin mencoba berbeda, intinya suka petualangan," jawabnya bersemangat.
Saat berkuliah, ia mengaku sudah tidak menemui adanya masalah gender. "Ga ada ya, malahan saya ngerasa dianggap kayak laki-laki, pulang juga sendiri, " ceritanya mengenang ketika ditanya perihal diskriminasi berdasarkan gender semasa kuliah. Wanita berambut lurus ini juga mengungkapkan bahwa selama menempuh pendidikan ia memang tidak pernah mengalami kesulitan terkait akses dikarenakan jenis kelamin. "Untuk pendidikan, ya saya sudah beda jaman ya sama era Kartini, kebetulan saya juga besar di lingkungan intelektual, jadi wajarlah saya tidak mengalami hal-hal diskriminatif terkait gender, " ungkapnya lugas dan jujur.
Namun, tidak berarti ia belum pernah mengalami kesulitan karena adanya "kodrat" sebagai perempuan. "Saya sejujurnya punya cita-cita besar jadi wanita karir, bahkan sampai tahap direksi ataupun komisaris, tapi ya tentu ini tidak mudah ketika kita harus berkeluarga, " jawabnya saat reporter bertanya tentang pilihan karir pasca lulus dahulu. Ia tidak bisa menjalankan mimpi tersebut karena suaminya akan berdomisili di Bandung. "Jadi, niat itu ya harus diurungkan, tapi saya tetap mau punya kontribusi untuk bangsa dan ITB adalah satu-satunya institusi yang paling mewadahi mimpi saya kala itu," lanjutnya lagi sambil menjelaskan pilihan hidupnya sebagai pengajar di kampus.
Setelah itu ia kembali dihadapkan pada pilihan antara melanjutkan pendidikan atau mengurus putranya yang baru lahir. "Di saat anak saya lahir, saya bersama suami masih di Amerika. Suami saya waktu itu baru selesai (kuliah). Saya sebenarnya ingin langsung lanjut (kuliah), tapi ya saya tidak mau kuliah saya jadi berantakan dan saya juga tidak menikmati masa-masa awal menjadi seorang Ibu, " kisahnya detil. Ia akhirnya memutuskan pulang terlebih dahulu bersama suami, sambil menunggu anaknya berada di waktu yang pas untuk kembali lagi ke Amerika demi mengejar ilmu.
Setelah anaknya hampir genap berusia 2 tahun, ia sudah kembali aktif mengirimkan lamaran ke Amerika untuk sekolah sekaligus menjadi asisten riset. Lalu, dengan upaya dan kerja kerasnya, ia pun diterima. "Saya lalu berangkat lagi bersama suami dan anak saya. Suami saya lanjut doktoral juga deh akhirnya, " celotehnya sambil tertawa.
Walau umur anaknya dirasa sudah cukup, tetap saja, menjadi seorang Ibu sambil berkuliah dan bekerja tidaklah mudah. Pagi-pagi, ia sudah harus menitipkan anaknya ke tempat penitipan anak. Ia lalu melanjutkan kuliah sambil merangkap asisten riset. Sorenya, ia lalu kembali menjemput anaknya. Rutinitas tersebut ia jalani se-efektif mungkin. "Yang pasti, bisa dibilang prestasinya saya di kelas dulu termasuk yang terbaik, ini bentuk komitmen saya sudah diberi kesempatan jauh-jauh belajar, " tegas wanita ketiga yang menjadi Profesor dari Teknik Sipil ITB ini.
Terkait gelar Profesornya, ia juga meyakini bahwa ini adalah hadiah akan dedikasinya yang bukan hanya tercermin dari akademik. "Menjadi seorang guru besar kan tidak melulu soal akademik. Saya banyak mengambil bagian di kepanitian seperti menjadi Ketua dari Program Implementation Unit, dan lain lain, " tandas ibu dari dua orang anak ini. Walau dengan belasan publikasi, termasuk juga ikut mengetuai atau menjadi peneliti berbagai penelitian, khususnya terkait manajemen rekayasa konstruksi, ia. tidak pernah kehabisan waktu. "Saya memang merasa saya punya kemampuan baik di manajemen waktu, jadi ya saya ambil semua kesempatan yang diberi pada saya, " katanya.
Pengabdiannya yang kaya, mendalam, dan luas membuat Reini D. Wirahadikusuma mendapatkan gelar Profesor. Perjuangannya untuk pendidikan dan keinginannya untuk terus berkontribusi juga merupakan bukti kegigihan dan determinasi yang tinggi. "Pemahaman akan kapasitas kita sendiri lah yang menjadikan kita seorang yang berhasil, apalagi perempuan, tentu akan banyak halangan dan rintangan yang menjadikan pikiran kita terpecah. Tapi, jangan sekali-kali itu dijadikan alasan, malah, kalau bisa, tunjukkan bahwa kita adalah perempuan yang bisa melampaui batas-batas tersebut tanpa harus meninggalkan keterbengkalaian di sisi manapun, " pungkasnya.
Reporter: Ferio Brahmana (Teknik Fisika 2017)