Prof. Widjajono Partowidagdo Bicarakan Solusi tentang Risiko Energi Indonesia 2011
Oleh alitdewanto
Editor alitdewanto
BANDUNG, itb.ac.id - Dosen sekaligus Guru Besar Program Studi Teknik Perminyakan ITB, Prof. Widjajono Partowidagdo berkesediaan untuk menjadi narasumber mengenai resiko energi Indonesia 2011 dalam kapasitasnya sebagai Anggota Dewan Energi Nasional. Topik ini diulas pada salah satu talkshow di salah satu televisi swasta nasional beberapa waktu yang lalu.
Tahun ini, Indonesia masih bergantung pada bahan bakar minyak sebagai sumber energi utama. Namun Indonesia dihadapkan pada fakta bahwa produksi energi minyak terus menurun hingga 950.000 BOPD, sementara kebutuhan terus naik. Untuk menutupi kekurangan dalam negeri, bahkan Indonesia mengimpor 600.000 BOPD.
Widjajono menyoroti bahwa hal ini bukan merupakan kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Widjajono menegaskan Indonesia bukan negara yang kaya akan minyak, seperti negara-negara Timur Tengah . "Kalau sudah mengimpor, berarti sudah jelas kalau tidak kaya," jelas Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas ITB.
Secara kalkulatif, lanjutnya, minyak merupakan bahan bakar yang relatif mahal dibandingkan energi lain seperti gas, panas bumi, dan batu bara sehingga tidaklah masuk akal bila kita tidak kaya namun menggunakan barang yang mahal. "Kita itu ibarat orang miskin, tapi pakai barang yang kaya, artinya sedang berlagak kaya. Kalau orang miskin seperti itu, maka hidupnya pasti susah," timpal alumnus Teknik Perminyakan ITB ini.
Sebagai perbandingan, listrik yang digenerate dari minyak menghasilkan 3 kwh listrik/liter. Dengan harga minyak Rp6000/liter sehingga harga per kwh nya menjadi sekitar Rp2000 (sekitar 22 sen dollar). Bila ditambah dengan biaya pembangkit, total akan menjadi 25 sen dollar/kwh. Sedangkan energi panas bumi, menurut peraturan pemerintah berada pada harga sekitar 9.7 sen dollar per kwh. Sementara gas sekitar 10 sen per kwh. "Ada gas dan panas bumi yang masih belum dipakai optimal, tetapi kita malah memakai bahan bakar yang jauh lebih mahal," tegasnya.
Investasi, Diversifikasi, dan Konservasi
Menurut Widjajono, ada tiga hal yang harus dibenahi terkait tentang energi Indonesia, yakni investasi, diversifikasi, dan konservasi. Indonesia saat ini menerapkan sistem fiskal yang menganut fixed system yang kurang fleksibel dalam berinvestasi. Itu membuat andil besar dalam penurunan cadangan minyak Indonesia. "Cadangan dan produksi Malaysia, Australia naik terus karena di sana kalau revenue nya besar, pendapatan negara juga besar. Kalau sedikit, pendapatannya akan sedikit. Akibatnya investor lebih suka bermain di sana."
Cadangan potensial di Indonesia belum banyak yang bisa menjadi cadagan terbukti. Untuk menjadi cadangan terbukti, cadangan potensial harus mendapat pengelolaan lebih lanjut lagi. Dan pengelolaan membutuhkan iklim investasi yang bagus. Indonesia belum memiliki iklim investasi yang bagus, seperti misal susahnya pembebasan lahan, tumpang tindih lahan, izin, dan desentralisasi.
Poin yang kedua ialah diversifikasi, yakni melakukan penganekaragaman bahan bakar, seperti gas bumi, dan panas bumi. Sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah harus bisa mengakomodir diversifikasi energi, misalnya menaikkan harga gas bumi dengan pantas. Masalah Indonesia jaman dulu, pasar domestik selalu meminta gas bumi dengan harga yang sangat murah seperti 3 dollar per MMBTU. Akibatnya produsen menjual ke luar karena tidak menguntungkan bila dijual di dalam negeri.
Tentang Widadjono Partowidagdo
Widjajojo Partowidagdo lahir di Magelang 60 tahun silam. Pemilik hobi naik gunung ini merupakan alumnus Teknik Perminyakan ITB, seangkatan dengan Purnomo Yusgiantoro. Widjajono sarat akan pengalaman di dunia perminyakan. Tercatat pernah tergabung sebagai Anggota Tim P3M (Pengawasan Peningkatan Produksi Migas) Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Penasehat Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas), serta Kaukus Migas Nasional Ikatan ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI).
Hingga saat ini, Widjajono telah menulis dua buah buku yakni Memahami Pembangunan dan Analisis Kebijakan (2004) dan Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas Bumi (2002).
Widjajono menyoroti bahwa hal ini bukan merupakan kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Widjajono menegaskan Indonesia bukan negara yang kaya akan minyak, seperti negara-negara Timur Tengah . "Kalau sudah mengimpor, berarti sudah jelas kalau tidak kaya," jelas Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas ITB.
Secara kalkulatif, lanjutnya, minyak merupakan bahan bakar yang relatif mahal dibandingkan energi lain seperti gas, panas bumi, dan batu bara sehingga tidaklah masuk akal bila kita tidak kaya namun menggunakan barang yang mahal. "Kita itu ibarat orang miskin, tapi pakai barang yang kaya, artinya sedang berlagak kaya. Kalau orang miskin seperti itu, maka hidupnya pasti susah," timpal alumnus Teknik Perminyakan ITB ini.
Sebagai perbandingan, listrik yang digenerate dari minyak menghasilkan 3 kwh listrik/liter. Dengan harga minyak Rp6000/liter sehingga harga per kwh nya menjadi sekitar Rp2000 (sekitar 22 sen dollar). Bila ditambah dengan biaya pembangkit, total akan menjadi 25 sen dollar/kwh. Sedangkan energi panas bumi, menurut peraturan pemerintah berada pada harga sekitar 9.7 sen dollar per kwh. Sementara gas sekitar 10 sen per kwh. "Ada gas dan panas bumi yang masih belum dipakai optimal, tetapi kita malah memakai bahan bakar yang jauh lebih mahal," tegasnya.
Investasi, Diversifikasi, dan Konservasi
Menurut Widjajono, ada tiga hal yang harus dibenahi terkait tentang energi Indonesia, yakni investasi, diversifikasi, dan konservasi. Indonesia saat ini menerapkan sistem fiskal yang menganut fixed system yang kurang fleksibel dalam berinvestasi. Itu membuat andil besar dalam penurunan cadangan minyak Indonesia. "Cadangan dan produksi Malaysia, Australia naik terus karena di sana kalau revenue nya besar, pendapatan negara juga besar. Kalau sedikit, pendapatannya akan sedikit. Akibatnya investor lebih suka bermain di sana."
Cadangan potensial di Indonesia belum banyak yang bisa menjadi cadagan terbukti. Untuk menjadi cadangan terbukti, cadangan potensial harus mendapat pengelolaan lebih lanjut lagi. Dan pengelolaan membutuhkan iklim investasi yang bagus. Indonesia belum memiliki iklim investasi yang bagus, seperti misal susahnya pembebasan lahan, tumpang tindih lahan, izin, dan desentralisasi.
Poin yang kedua ialah diversifikasi, yakni melakukan penganekaragaman bahan bakar, seperti gas bumi, dan panas bumi. Sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah harus bisa mengakomodir diversifikasi energi, misalnya menaikkan harga gas bumi dengan pantas. Masalah Indonesia jaman dulu, pasar domestik selalu meminta gas bumi dengan harga yang sangat murah seperti 3 dollar per MMBTU. Akibatnya produsen menjual ke luar karena tidak menguntungkan bila dijual di dalam negeri.
Tentang Widadjono Partowidagdo
Widjajojo Partowidagdo lahir di Magelang 60 tahun silam. Pemilik hobi naik gunung ini merupakan alumnus Teknik Perminyakan ITB, seangkatan dengan Purnomo Yusgiantoro. Widjajono sarat akan pengalaman di dunia perminyakan. Tercatat pernah tergabung sebagai Anggota Tim P3M (Pengawasan Peningkatan Produksi Migas) Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Penasehat Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas), serta Kaukus Migas Nasional Ikatan ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI).
Hingga saat ini, Widjajono telah menulis dua buah buku yakni Memahami Pembangunan dan Analisis Kebijakan (2004) dan Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas Bumi (2002).