Profesor ITB Ungkap Organisme Penghasil Minyak Masa Depan dan Strategi Atasi Tanah Salin
Oleh Anggun Nindita
Editor Anggun Nindita
JATINANGOR, itb.ac.id - Profesor Bioengineering Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Dr. Ir. Robert Manurung, M.Eng., mencuri perhatian dalam agenda Bioengineering Festival 2023 (BE Fest) yang berlangsung pada Kamis (16/11/2023).
Dalam presentasinya yang berjudul "Valorization of Rice and Cassava Crops for Producing Organic Amendments of Saline Soil as well as Creating Economic Development in Rural Area," Prof. Robert membuka mata peserta tentang inovasi solusi tanah salin dan dampakfnya terhadap pembangunan ekonomi di pedesaan.
Salah satu poin utama yang Prof. Robert sampaikan adalah mengenai kondisi tanah salin, yakni tanah yang mengandung tingkat garam tinggi. Menurutnya Indonesia sebagai salah satu produsen padi terbesar di dunia, kini tengah menghadapi tantangan serius akibat salinasi tanah yang semakin meningkat akibat perubahan iklim.
Luas tanah salin-sodik di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 440.000 hektar, dan proyeksi menunjukkan peningkatan sebesar 10% setiap tahunnya. Tanah salin dapat merugikan pertanian dan menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman. Oleh karena itu, strategi dan teknologi pengelolaan tanah salin menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah ini
Prof. Robert melihat potensi besar pada tanaman padi dan singkong untuk mengatasi hal tersebut. Limbah padi dan singkong dapat diolah menjadi biochar. Melalui pendekatan pengaplikasian biochar pada tanah salin, hasil pertanian dapat ditingkatkan secara signifikan.
Studi kasus ini dijelaskan Prof. Robert di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat, yang menunjukkan peningkatan hasil padi dari 1 ton per hektar menjadi 2 ton per hektar per panen menggunakan pendekatan ini.
Selain menjadi solusi bagi tanah salin, Prof. Robert menjelaskan bahwa dua tanaman pangan tersebut memiliki potensi besar untuk menghasilkan produk bernilai tinggi. Berbagai komponen dari tanaman tersebut, seperti jerami padi dan bekatul dapat diolah menjadi produk bernilai tinggi seperti pati, etanol, DME (Dimethyl Ether) hijau, hidrolisat protein, enzim, bio-komposit, arang, nano silika, dan produk biologis bernilai tinggi lainnya.
Konsep simbiosis industri juga menjadi fokus dalam pemaparan Prof. Robert. Ia menekankan pentingnya pertukaran dan berbagi sumber daya antarsistem produksi yang sebelumnya tidak terhubung. Selain itu, dengan mendekatkan pabrik-pabrik pengolahan biomassa ke area produksi tanaman, potensi ekonomi dan sosial di pedesaan dapat dikembangkan secara signifikan.
Di sisi lain, Prof. Robert menyoroti potensi luar biasa mikroalga sebagai tanaman yang sangat efisien dalam menangkap energi matahari untuk menghasilkan lipid. Mikroalga mengandung metabolit primer seperti lipid, karbohidrat, dan protein, serta metabolit sekunder seperti vitamin dan antioksidan. Keunikan ini membuat mikroalga menjadi input yang sempurna untuk memajukan industri simbiosis.
Mikroalga menarik karena memiliki produktivitas tinggi, kandungan minyak mencapai 20-60%, dan mampu menghasilkan 20.000-50.000 liter minyak per hektar per tahun. Produksi ini jauh melampaui kelapa sawit yang hanya mencapai 6000 liter minyak per hektar per tahun.
“Keuntungan lainnya adalah mikroalga tumbuh di atas air laut, memanfaatkan nutrisi sisa seperti CO2, N, dan P, serta menghasilkan produk sampingan yang memiliki nilai tambah, seperti pati dan protein. Hal ini memberikan solusi inovatif tanpa harus bersaing untuk sumber daya alam dengan organisme lain,” ujarnya.
Pada akhir presentasinya, Prof. Robert memberikan gambaran tentang masa depan bioindustri di Indonesia. Dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah, seperti lahan pertanian dan wilayah pesisir, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pusat bioekonomi di tingkat regional dan global.
Reporter : Ardiansyah Satria Aradhana (Rekayasa Pertanian, 2020)