Profesor Riset BPPT Bahas Pemanfaatan dan Potensi Remote Sensing di Indonesia dalam SEMAT Prodi Geologi ITB
Oleh Anggun Nindita
Editor Anggun Nindita
BANDUNG, itb.ac.id — Sekolah Pascasarjana Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi "GEA" (HMTG "GEA") dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) mengadakan Seminar Jumat (SEMAT) pada Jumat (1/3/2024).
Acara ini menghadirkan mantan Menko Kemaritiman RI (2014-2015) sekaligus Profesor Riset Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Prof. Dr. Ir. Indroyono Soesilo, M.Sc. Pada kesempatan tersebut beliau memaparkan topik tentang “Teknologi Remote Sensing untuk Eksplorasi, Inventarisasi, dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Indonesia”.
Menurut Prof. Indroyono, remote sensing merupakan kegiatan pengamatan suatu objek tanpa melibatkan kontak langsung dengan objek tersebut. Pengamatan dilakukan menggunakan sensor tertentu yang dipasang pada suatu platform, seperti drone, pesawat, satelit, dan sebagainya.
"Berbagai macam sensor yang digunakan untuk remote sensing bekerja pada panjang gelombang yang beragam, mulai dari panjang gelombang cahaya tampak, infrared, radar, hingga seismik," ujarnya.
Remote sensing dengan platform satelit pertama kali diluncurkan pada tahun 1960 melalui proyek TIROS-1 oleh NASA. Kendati demikian, satelit pemantau bumi pertama baru hadir 12 tahun setelahnya yang ditandai dengan peluncuran Landsat-1.
Sejak saat itu remote sensing di Indonesia mulai berkembang sedikit demi sedikit, didukung dengan kehadiran beberapa ahli yang mempelajari bidang ini dari luar negeri. Salah satunya adalah Prof. Indroyono sendiri.
Remote sensing mulai bergeser ke arah industri jasa mulai tahun 1993 dengan berbagai dukungan pemerintah untuk bidang ini termasuk pengembangan infrastruktur perangkat keras maupun lunak.
“Dulu target kami adalah membangun jasa penginderaan jauh di Indonesia. (Terdiri dari) penyedia data, penyedia jasa informasi, penyedia jasa knowledge, dan perluasan pasar,” ujar Prof. Indroyono.
Pada masa sekarang sudah banyak satelit beresolusi tinggi yang digunakan untuk tujuan komersial. Citra muka bumi yang dihasilkan juga bersifat real-time dan langsung dihimpun dalam sistem big data untuk kepentingan inventarisasi, pemantauan, analisis, hingga prediksi.
Meskipun begitu, menurut Prof. Indroyono, industri dan komersialisasi remote sensing masih tetap membutuhkan penguatan regulasi terutama pada bidang yang terkait dengan sistem ini.
“Secara regulasi sudah kukuh, secara teknologi sudah dikuasai, secara industri sudah tumbuh, sekarang waktunya menggarap. Jangan lupa R&D (research and development) jalan terus dengan teknologi yang paling mutakhir,” tutur beliau.
Hal ini didukung oleh banyaknya pekerjaan di dalam negeri yang memanfaatkan sistem remote sensing, mulai dari agraria, pertanian, kebencanaan, kemaritiman, energi, dan masih banyak lagi.
Dalam beberapa tahun ke belakang, remote sensing juga marak digunakan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.Pemanfaatannya antara lain untuk memantau kenaikan muka air laut akibat pemanasan global serta eksplorasi potensi gas hidrogen sebagai sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Terakhir, Prof. Indroyono mengingatkan bahwa saat ini manusia sudah mulai memasuki era 5.0 atau sering disebut imagination society. Era ini menekankan pada penciptaan nilai (value creation) dari transformasi digital dan kreativitas sebagai akar pemecahan masalah. Oleh karena itu, menurut beliau, remote sensing memegang peranan penting sebagai penyedia informasi dan pengetahuan yang mendukung kepentingan manusia di masa sekarang dan masa depan.
“Konten yang digunakan sebagai dasar pemecahan masalah di era ini dikembangkan dari IT, salah satunya remote sensing,” pungkasnya.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)