Promosi Doktor ITB: Imam Santosa
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Jumat pagi, 6 Oktober 2006, Program Studi Pascasarjana ITB mempromosikan Imam Santosa memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Seni dan Desain. Mantan Kepala Departemen Desain Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB yang sekarang menjabat Wakil Dekan bidang Akademik FSRD ITB ini mengajukan disertasi bertajuk "Kajian Estetika dan Unsur Pembentuknya pada Keraton Surakarta." Disertasinya ini mencoba mengetahui peran dan kedudukan Keraton Surakarta dalam sistem kebudayaan Jawa sekaligus memperoleh pemahaman tentang kedudukan estetika Keraton Surakarta serta ungkapan-ungkapan visualnya. Imam secara khusus hendak mengungkap bagaimana budaya Jawa mengalami proses pembelajaran budaya dari budaya asing (akluturasi) dan sejauh mana budaya asing tersebut turut membentuk ciri-ciri visual desain Keraton Surakarta.
Hasil penelitiannya meliputi empat aspek utama, yaitu sistem denah dan bangunan; pajupat, arsitektur suluk, dan jagad walikan; wujud visual keraton dan watak estetika; serta keraton dan alkulturasi. Sistem bangunan Keraton Surakarta menyerupai tipologi suatu struktur yang merupakan lambang atau gambaran dari tubuh manusia. Sementara itu sistem denah Keraton Surakarta mempunyai urutan yang sangat terstruktur, melambangkan suatu perjalanan yang spiritual dalam mencari kesatuan dengan Pencipta. Sistem denahnya juga melambangkan tahapan pengendalian emosi serta perjalanan usia dari kelahiran, masa muda, masa tua dan akhir dari kehidupan.
Kompleks keraton berorientasi pada pajupat, sebuah konsep yang diyakini dapat memelihara getaran spiritual sehingga tercipta keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Pajupat memiliki empat kekuatan alam yaitu hutan lebat di Utara, matahari terbit dan Gunung Lawu di Timur, samudera besar di Selatan, serta Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di sebelah Barat. Keraton dibuat bedasarkan arsitektur suluk yang menonjolkan keteraturan keindahan dan keselarasan. Susunan ruang didasari proses pelatihan spiritual untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Keraton Surakarta sebagai suatu karya merupakan representasi Raja yang memiliki nilai-nilai 'ratu binathara' yang memiliki empat sendi dasar yaitu 'ber budi, bawa leksana' yang berarti budi baiknya melimpah, dan memegang teguh kata-katanya; dan 'ambeg adil pamarta' yang berarti bersifat adil, dan murah hati. Usaha-usaha untuk menciptakan getaran spiritual demi mendukung pamor dan karisma Raja dilakukan dengan penggambaran secara simbolik pada bangunan dan komponen pendukungnya. Hal ini muncul pada simbol-simbol visual seperti, ketika seorang pergi ke arah Selatan dari Gapuro Gladhag melalui gerbang Srimanganti dilambangkan sebagai hubungan matahari, bulan, dan bintang.
Meskipun terjadi beberapa kali proses kontak budaya, dalam kurun waktu lebih dari 300 tahun, pembentukan denah tapak Keraton Surakarta tampak memiliki sebuah master plan yang tidak tertulis tapi melekat dalam budaya Jawa. Susunan arsitektur terdiri dari berbagai ragam bentuk yang dikemas dalam visualisasi khas Jawa untuk merepresentasikan hidup orang Jawa, yaitu menuju kesempurnaan dalam persatuan dengan Pencipta. Pada bagian yang lebih detail, misalnya implementasi pada ragam hias yang memiliki makna yang berorientasi pada nilai Islam, tetapi kode visual yang ada masih mengacu pada bentuk-bentuk Hindu, Budha, tradisi Jawa kuno (seperti hukum macapat), dan pengaruh kolonial Belanda. Semuanya bersatu dalam konsep keselarasan.