Rumanaga, Angkat Kearifan Lokal Kampung Naga Melalui Rumah Prefabrikasi
Oleh Ahmad Fadil
Editor Ahmad Fadil
BANDUNG, itb.ac.id – Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa. Sudah sepatutnya sumber daya alam yang melimpah dari bumi pertiwi ini dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Alam dipadukan dengan teknologi dapat memenuhi berbagai kebutuhan manusia seperti transportasi, sumber pangan, pakaian dan juga sarana tempat tinggal.
Salah satu sumber alam bangunan adalah bambu. Bila dibandingkan dengan kayu, bambu memiliki banyak kelebihan diantaranya daya tahan yang kuat, mudah dibudidayakan, dan dapat dipanen dalam kurun waktu 3 tahun tanpa memakan banyak lahan.
Namun demikian, angka pemanfaatan bambu di Indonesia masih jauh di bawah potensi yang ada. Hal tersebut disebabkan adanya stigma negatif terkait bambu, terutama pandangan bahwa bambu adalah material yang rapuh, kuno, dan kurang bernilai.
Menjawab tantangan pengembangan teknologi bangunan dari bambu, pakar Institut Teknologi Bandung (ITB) di kelompok keahlian teknologi bangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Dewi Larasati, bersama tim Green Research Building Center mengembangkan hunian sederhana berbiaya rendah berbahan utama bambu.
Peneliti ITB berangkat dari riset kehidupan masyarakat desa Kampung Naga di Tasikmalaya. Desa ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi termasuk menggunakan bahan-bahan alam untuk menjalani kehidupan. Bila singgah ke kampung ini, terlihat hampir seluruh bangunan dan furnitur terbuat dari bambu. Pasalnya, masyarakat Kampung Naga memiliki teknik pengawetan bambu yang tidak hanya unik, tapi juga dilakukan secara turun temurun sehingga menjadikannya sebagai daerah wisata tersendiri.
Menggunakan nama Rumanaga pada proyek penelitiannya, tim peneliti ITB yang terdiri dari Dewi Larasati, Ph.D., Anjar Primasetra, M.T., Firman Fadhly AR, M.T., dan Suhendri, S.T., M.Sc., serta Prinka Victoria, M.T., Dewi Rachmaniatus S., M.T., Nurhijrah, M.T., dan Ardian Haryo sebagai asisten riset, melihat adanya masalah yang timbul dalam masyarakat Kampung Naga. Kecenderungan para generasi muda di Kampung Naga untuk mencari kerja di kota, akan menimbulkan dampak hilangnya kelestarian kerajinan bambu yang sudah turun temurun di desa itu sendiri. “Makanya, kita datang dan tinggal disana, berbincang-bincang, untuk mencari kearifan lokalnya.” ujar Dewi pada hari Rabu (28/03/2018).
Dimulai sejak tahun 2013, tim riset ITB bekerja sama dengan masyarakat Kampung Naga untuk membuat produk-produk berbahan dasar bambu. Proses perancangan dan desain dilakukan oleh tim riset dari Program Studi (Prodi) Arsitektur SAPPK. Masyarakat Kampung Naga dilibatkan dalam pengerjaan pengembangan produknya sehingga warisan kearifan lokal tetap terjaga. “Rumah vernakular Kampung Naga merupakan contoh baik untuk pembangunan prefabrikasi material lokal melalui pemberdayaan masyarakatnya,” ujar Dewi.
Rumanaga menggabungkan dua konsep dalam perancangannya, pertama yaitu konsep arsitektur vernakular dari Kampung Naga dengan konsep prinsip bangunan prefabrikasi modern. “Arsitektur vernakular terbentuk dari proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan di suatu tempat,” ujar Dewi. Proses ini dikatakan olehnya dapat menciptakan hunian yang ramah lingkungan, hemat energi, material yang berkelanjutan, serta keikutsertaan masyarakat. “Kearifan lokal tersebut digabungkan dengan penyesuaian aspek desain agar dapat diterima masyarakat sesuai perkembangan zaman,” sambungnya.
Dewi kemudian menceritakan proses konstruksi Rumanaga. Seluruh komponen bangunan disiapkan terlebih dahulu di suatu tempat, lalu dibawa, dan dirakit di lokasi konstruksi. Penggunaan material lokal dan teknik konstruksi lokal ditekankan agar pembangunan Rumanaga tetap mengusung konsep pemberdayaan masyarakat.
Lebih lanjut dikatakan olehnya, agar bambu tetap bercita rasa tradisional dan diterima oleh tren saat ini adalah dengan menjadikan anyaman asli Kampung Naga menjadi tiles berukuran 60 cm x 60 cm. “Nantinya, anyaman seperti anyaman bilik biasa, anyaman sasak, anyaman palupuh, dan anyaman bilik bunga yang telah berbentuk tiles ini akan disusun menjadi tembok berpola agar tidak monoton,” ungkapnya. Sedangkan atap Rumanaga dapat mencontoh langsung dari Kampung Naga yang berupa ijuk, ataupun diganti menjadi rumbia, genteng, dan juga bambu.
Desain Rumanaga yang banyak terinspirasi dari Kampung Naga ini dapat terlihat dari rumah yang berbentuk panggung untuk menjaga kelembapan udara dan menghindari serangan rayap. “Untuk saat ini, Rumanaga banyak diperuntukkan bagi sektor pariwisata, khususnya, di Kabupaten Bandung,” ungkap Dewi. Permintaan akan destinasi wisata yang tinggi dan jarak yang relatif dekat dengan Jakarta membuat potensi rumah tradisional sebagai penginapan menjadi tinggi.
Rumanaga diharapkan menjadi solusi dan alternatif bagi pemenuhan kebutuhan rumah tinggal berbiaya rendah bagi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat Kampung Naga juga diharapkan akan tetap bertahan untuk menjaga kelestarian tradisi yang telah turun temurun.
Fasilitas workshop bambu diadakan agar pola pemberdayaan masyarakat dalam pemenuhan perumahan dapat berlanjut. Workshop bambu yang terletak di Kampung Naga di Tasikmalaya dan kota Bandung itu, dapat mengajak masyarakat untuk lebih dekat mengenal konstruksi bambu, dan juga kayu, serta menjalin komunikasi intensif dengan masyarakat lokal.
Penulis: Rayi Harjani (Desain Produk 2016)