Sambut ASEAN Open Skies Mendatang, HMS ITB Gelar Seminar Kebandarudaraan

Oleh Bayu Septyo

Editor Bayu Septyo

BANDUNG, itb.ac.id - Indonesia sebagai anggota ASEAN akan menghadapi kenyataan baru dalam waktu dekat. Pasalnya, Indonesia bersama sembilan negara lainnya akan kian membuka akses satu sama lain dalam berbagai hal, salah satunya lalu lintas udara. Berbagai potensi mulai diperhitungkan, namun tak sedikit juga kekhawatiran akan ancaman yang ditimbulkan dengan hadirnya ASEAN Open Skies. Sebagai bangsa yang optimis, bukan saatnya lagi menerka tabir, lebih dari itu, diskusi dan sero pemikiran guna melahirkan kesiapan dan kompetensi dalam menghadapi berbagai kemungkinan merupakan harga yang tak bisa ditawar. Merespon hal ini, Himpunan Mahasiswa Sipil (HMS) ITB menggelar seminar ketekniksipilan bertajuk "Infrastruktur Transportasi Udara Indonesia dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015" pada Minggu (15/11/15) di Ruang 9213 Gedung Kuliah Umum (GKU) Timur ITB Ganesha. Seminar yang mengundang civitas academica seluruh Jawa Barat ini membawakan pembicara dari berbagai bidang kebandarudaraan nasional diantaranya Asri Wahyuniati Palupi selaku perwakilan Direktorat Banda Udara (DBU) Kemenhub dan Tommy Kistanto sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Bandar Udara Indonesia (IABI). Turut hadir pula kalangan ahli teknik kebandarudaraan Harmein Arman dari ITB dan Polana B. Pramesti yang kini aktif mengepalai direktorat teknik Angkasa Pura 1 (AP1).

Kesiapan DBU Hadapi Open Skies

Asri menyatakan kesepakatan open skies antar negara-negara ASEAN secara lebih nyata akan termanifestasi dalam kebijakan ASEAN Single Aviation Market (ASAM). Menurut Asri, bentuk komitmen para pemimpin negara-negara Asia Tenggara ini akan membuka konektivitas yang sangat berguna untuk kemajuan perdagangan dan gairah perdagangan. Dengan ASAM, perhubungan udara dinilai sebagai sektor paling proaktif dalam menjaring konektivitas antar-negara sehingga memungkinkan terbentuknya satu pasar raksasa dalam kawasan ASEAN. Untuk mempersiapkan ini, Asri menyatakan DBU telah menetapkan lima bandar udara paling siap di seluruh Sumatera, Jawa, dan Sulawesi yang akan membuka akses masuk airlines asing ke Indonesia. Tidak lupa, lanjut Asri, direktoratnya juga sudah menyiapkan berbagai kebijakan yang mengatur seluruh kebutuhan aviasi ini termasuk kebijakan SDM yang mendukung tema ASAM kedepan.

Open Skies Berikan Lima Tantangan bagi Indonesia

"Indonesia setidaknya akan mendapatkan tambahan 16,3 juta penumpang tahunan per 2025 nanti," tukas Polana. Alumni jurusan Teknik Sipil ITB ini mengatakan bahwa tambahan penumpang hanyalah salah satu dari impact mendatang dengan diterapkannya open skies, disamping bertambahnya puluhan ribu pergerakan aircraft tahunan dan ratusan ribu ton beban kargo tahunan serta beban-beban baru lainnya dalam lalu lintas Indonesia nanti. Indonesia melalaui AP1 saja, lanjut Polana, setidaknya harus dapat menghadapi lima tantangan utama kebandarudaraan nasional diantaranya adalah peningkatan Customer Satisfaction Index (CSI), peningkatan pendapatan non-aeronautika, pemenuhan kapasitas dan modernisasi bandar udara, peningkatan aksesibilitas & konektivitas bandara, serta keterbatasan dana untuk pengembangan lanjutan. Berbagai aspek dan indeks dalam poin-poin itu masih sangat perlu ditingkatkan jika melihat kondisi eksisting saat ini.  Misalnya saja, kapasistas bandara-bandara yang dinaungi oleh AP1 hampir semuanya mengalami over capacity seperti Syamsudin Noor di Banjarmasin dan Ahmad Yani di Semarang yang masing-masing mencapai 374% dan 300% utilisasinya. Padahal menurut Polana, "Jika kapasitasnya saja sudah mencapai 75%, maka harus ada pengembangan lagi untuk meingkatkan kapasitasnya". Sebagai wanita yang dipercaya dalam mengurusi aspek teknis kebandarudaraan AP1, Polana tak lupa memberikan studi kasus dalam meningkatkan kapasitas bandara. Ia menilai forecasting dalam membangkitkan data kapasitas merupakan hal yang sangat penting untuk memulai analisis. Setelah rincian data dipenuhi barulah alternatif-alternatif strategi pengembangan dapat dilahirkan.

Sertifikasi Tingkatkan Daya Saing Ahli Nasional

Di bagian lain, Tommy menegaskan bahwa open skies dalam skema AEC bukan saja membutuhkan persiapan infrastruktur semata. Ia menilai sumber daya yang berdaya tahan tinggi dalam persaingan juga termasuk dalam aspek integratif kebandarudaraan. Oleh karenanya, dengan satu-satunya lembaga asosiasi profesi perencana kebandarudaraan di Indonesia yang ia geluti, Tommy mengajak seluruh partisipan untuk mengenali kebutuhan sertifikasi yang akan memberikan legalitas dan pengakuan bagi tenaga kerja ahli yang dapat digunakan dalam proyek perencanaan kebandarudaraan seluruh kawasan ASEAN. "Dengan masuknya konsultan dan berbagai tenaga ahli kebandarudaraan secara besar-besaran dari luar negeri, apakah ahli nasional hanya mau menonton saja?" tanyanya semangat. Sertifikasi ini, lanjutnya, diharapkan dapat memberikan perlindungan dan peningkatan kompetensi demi terciptanya durabilitas yang tinggi bagi tiap-tiap ahli kebandarudaraan tanah air pasca Indonesia memasuki AEC nanti.

Bendung Serbuan Pasar AEC dengan Engineer Berkualitas

Harmein yang mengiyakan pernyataan Tommy mengenai Indonesia sebagai pasar yang sangat menarik bagi kawasan ASEAN ikut menyertakan gambaran lain dalam aspek kesiapan teknis. Dosen populer yang kini aktif mengajar di Prodi Teknik Sipil ITB ini memperlihatkan kerumitan dalam pemeliharaan bandara-bandara di Indonesia. Ratusan bandara komersil dan non-komersil berlokasi di berbagai pulau dengan medan beragam. Hal ini diperparah dengan latar belakang dan peruntukkan bandara yang ada sekarang. "Contohnya, banyak bandara yang dikembangkan atas dasar kebutuhan perang, seperti bandara Juanda yang dibuat Jepang untuk menyerbu Irian Barat pasca-kemerdekan," ungkap Harmein. Sekarang pun, tambahnya, untuk melakukan pekerjaan bandara, kontraktor harus dihadapkan dengan aturan yang berat misalnya sistem idle pada mesin-mesin pekerjaan dan minimnya alokasi waktu kerja. Dalam merencanakan dan memelihara bandara, ia menilai para engineer harus dapat melihat setiap keadaan secara mendalam. "Contohnya, dalam pemeliharaan dan perbaikan kita tidak bisa membongkar runway yang akan mengganggu fasilitas udara bandara, akibatnya kita dihadapkan dengan keterbatasan dalam pendekatan-pendekatan yang ada".

Sedangkan itu, Harmein juga menyatakan bahwa bandara merupakan fasilitas airline-driven yang berarti sulit bagi pengurus airsite dalam mengontrol dan menyiapkan airport yang selalu bersahabat dengan berbagai macam aircraft yang ada. Akibatnya seringkali terjadi fatigue yang berlebihan pada runway misalnya. Namun demikian, hal ini dapat diatasi menurutnya, "kita bisa mengubah tren perencanaan dari penebalan lapisan tanah base oriented menjadi surface oriented". Melihat hal-hal yang komprehensif tentang kebandarudaraan ini, para partisipan terlihat antusias. Seminar yang dilengkapi dengan diskusi dan tanya jawab ini sukses menyita animo para mahasiswa yang hadir. Adapun dengan seminar ini, HMS ITB berharap agar seluruh mahasiswa lebih kritis dan berani membahas isu-isu terkini dan terlibat dalam diskusi kebangsaan dalam bidang engineering.