Segelintir yang Tetap Bertahan
Oleh
Editor
Keberadaan ITB menimbulkan sebuah hubungan simbiosis dengan lingkungan sekitarnya. Daerah Cisitu, Kebon Bibit, Tubagus Ismail, dan lain sebagainya, telah menjelma menjadi pemukiman mahasiswa. Tentu dengan alasan yang praktis sebagian besar mahasiswa memilih untuk tinggal di kos yang berjarak dekat dengan kampusnya. Tetapi tidak semua mahasiswa ITB melakukan hal yang sama. Ada segelintir mahasiswa yang setiap harinya harus bangun lebih pagi dari mahasiswa lainnya agar bisa sampai di kampus tepat pada waktunya. Mereka yang tinggal di daerah Kabupaten Bandung ini memang sebagian kecil dari sivitas ITB yang tetap bersemangat menuntut ilmu walaupun dihadapkan pada kendala jarak.
Rancaekek adalah nama sebuah daerah di Kabupaten Bandung Timur. Berjarak kurang lebih duapuluh kilometer apabila ditarik garis lurus dari Stasiun Kereta Api Bandung, Rancaekek berada di perbatasan antara Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Sumedang. Karcis kereta api Rancaekek-Bandung berharga seribu rupiah untuk kelas ekonomi dan empat ribu rupiah untuk kelas bisnisnya sekali jalan. Setiap harinya, para mahasiswa yang tinggal di Rancaekek ini harus merogoh kocek sekitar duabelas ribu rupiah untuk ongkos pulang-pergi Rancaekek-Bandung. Dengan perjalanan selama setengah hingga satu jam, mereka pun tiba di Stasiun Kereta Api Bandung, dimana mereka hanya tinggal naik angkutan kota jurusan Cisitu-Tegallega untuk mencapai kampus ITB.
Kereta yang paling pagi berangkat dari Rancaekek adalah kereta kelas bisnis jam setengah enam pagi. Mahasiswa ITB yang tinggal di Rancaekek pasti menggunakan kereta ini apabila mereka ada kuliah jam tujuh pada hari itu. "Bisa saja naik KRD (nama lain untuk Kereta Rel Dalam Kota kelas ekonomi, red) jam enam, tapi kemungkinan besar pasti terlambat, karena perjalanannya memakan waktu sekitar satu jam, belum lagi ada risiko barang bawaan dicuri, karena KRD jam sekian pasti penuh sesak dengan penumpang," ucap Ikeu, mahasiswi tingkat akhir Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. Kereta paling malam dari Bandung sendiri adalah kereta ekonomi pukul setengah delapan malam. Bagi Ikeu, pulang dengan menggunakan kereta terakhir ini sudah menjadi sebuah kebiasaan. "Biasanya ada tugas yang harus dikerjakan di laboratorium, atau ada acara dengan teman-teman maupun di himpunan, sehingga seringkali saya pulang menggunakan kereta terakhir. Dengan kereta itu, saya sampai di rumah pukul setengah sembilan hingga pukul setengah sepuluh malam, karena kereta ini seringkali datang terlambat."
Sesampainya di rumah, masih ada berbagai tugas menanti untuk dikerjakan. Beberapa program studi di ITB memang terkenal dengan frekuensi praktikumnya yang padat, termasuk prodi Biologi tempat Ikeu menuntut ilmu. "Kadang setelah sampai di rumah, saya tidak bisa langsung beristirahat, tetapi harus mengerjakan berbagai tugas yang sudah menunggu. Seperti tugas pendahuluan, dan laporan untuk praktikum," tukasnya. Dalam seminggu, mahasiswa prodi Biologi dapat menjalankan empat sampai lima praktikum.
Tidak hanya Ikeu, ternyata banyak mahasiswa ITB yang berdomisili di Rancaekek. Mereka datang dari berbagai prodi: Teknik Geofisika, Farmasi, Kimia, Fisika, dsb. Alasan mereka untuk tetap melakukan ritual pulang-pergi Bandung-Rancaekek pun beragam, ada yang dilarang tinggal di kos oleh orang tuanya, ada yang terlanjur betah tinggal bersama orang tua, dan ada yang merasa tidak akan ada bedanya apabila mereka pindah ke kos.
Walaupun waktu mereka banyak habis di perjalanan, ternyata prestasi akademik mereka tidak banyak terpengaruhi oleh kendala ini. "Indeks Prestasi (IP) tetap di atas 3," ucap Ikeu sambil tersenyum. Ia bahkan pernah diajukan oleh sekolahnya sebagai salah satu calon mahasiswa berprestasi utama, walaupun akhirnya tidak lolos.