Seminar Menggagas Perbaikan Menyeluruh : Rekonstruksi Model Kepemimpinan Nasional
Oleh Unit Sumber Daya Informasi
Editor Unit Sumber Daya Informasi
Seminar Menggagas Perbaikan Menyeluruh : Rekonstruksi Model Kepemimpinan Nasional diselenggarakan di Aula Barat ITB, jalan Ganesa 10 Bandung pada hari Selasa 17 Juni 2003. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa ITB dibawah kordinasi Lembaga Pengkajian dan Kesejahteraan Mahasiswa ITB.
Acara dibuka oleh MC, Eris Munandar, dan diawali dengan Pembacaan Al Qur’an oleh Yusviriansyah an Indra bertindak sebagai Saritilawah.
Rektor ITB, Kusmayanto Kadiman membuka acara tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Keluarga Mahasiswa ITB, Ahmad Farhan dan juga dilengkapi dengan sambutan dari Ganesa Muda, Djoko Susanto.
Hadir pula sebagai pembicara pada sesi pertama Prof.Dr.H. Amien Rais, MA., Nazzarudin Syamsuddin dan Ahmad Mustofa serta sebagai pemandu acara Setiawan dan Dedy Jamaludin M.Pada Sesi kedua dipandu oleh Ryan R. Nugraha, para pembicara terdiri dari Dr.Ir. Djoko Susanto, MM.; Sri Sultan Hamengku Buwono X; Setiawan Djody dan Ir. Sunardi, M.Si.
Acara Seminar sehari tersebut diakhiri dengan PresRelease Sebagai berikut :
Dialog Publik: Menggagas Perbaikan Menyeluruh:
Rekontruksi Model Kepemimpinan Nasional
Lima tahun sudah berlalu pergerakan mahasiswa menuntut reformasi. Kepemimpinan nasional silih berganti berusaha untuk mewujudkan misi-misi reformasi yang dituntut oleh para mahasiswa. Tetapi selama lima tahun pula, masyarakat Indonesia terpaksa menghadapi kenyataan pahit bahwa pemerintah yang diamanati untuk memimpin bangsa ini belum menunjukkan niat yang kuat untuk mengadakan reformasi.
Semakin jauh kita meninggalkan momentum reformasi 1998 semakin jauh pula usaha pemerintah untuk melaksanakan visi reformasi. Hal ini bisa kita lihat dari tingkat perekonomian, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, dan jumlah hutang negara. Sedangkan dari segi hukum, tidak ada usaha tegas dari pemerintah untuk mengadili maupun mengusut kasus-kasus korupsi di seluruh jajaran struktur pemerintahan. Usaha perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah temyata tidak memberikan efek yang signifikan. Pemerintah bahkan berkali-kali mengeluarkan kebijakan yang tidak sejalan dengan tuntutan masyarakat, bahkan terkesan merugikan rakyat. Kenaikan- kenaikan harga pada awal tahun 2003 merupakan salah satu contoh kecilnya. Ada apa dengan kepemimpinan nasional kita? Seberapa besar niatan para pemerintah untuk memenuhi tuntutan reformasi ?
Dialog public ini dilaksanakan di Aula Barat, tanggal 17 juni 2003 mulai pukul 08.00-18.00. Acara ini diinisiasi oleh Keluarga Mahasiswa ITB sebagai perwujudan rasa keprihatinan terhadap kinerja pemerintahan Megawati-Hamzah. Dan dari acara ini diharapkan adanya suatu tawaran konsep ataupun alternative solusi terhadap usaha perbaikan “rekontroksi menyeluruh” terhadap kepemimpinan nasional yang ideal. Pembicara-pembicara yang diundang adalah mereka yang dianggap concern untuk rnemikirkan bentuk kepemerintahan nasional yang lebih baik.
Bismillahirrahmanirrahiim,
KEPEMIMPINAN DI NEGERIKU, SEBUAH EPILOG TENTANG HARAPAN
Ahmad Mustofa: Presiden KM ITB
Pemimpin dan Penguasa
Setiap kali aku membaca biografi para pemimpin, raja, penguasa atau panglima negeri ini, aku jumpai pada mereka ada keaiban, kesalahan dan penyelewengan. Kadang aku tak sampai hati membiarkan biografi itu dibaca oleh orang lain agar kesalahan itu tidak menular kepadanya tanpa ia sadari Karena itu aku terdorong menulis tentang kepemimpinan ini dengan mengemukakan prinsip-prinsip dan sifat-sifat yang dapat melindungi seorang terhadap masalah yang sangat urgen ini yang harus digeluti, yang kadang-kadang dapat mengakibatkan bencana dan kesalahan yang fatal.
Di negeriku ini banyak orang berkuasa tetapi tidak memimpin. Bangsa Indonesia praktis. Saat ini tidak lebih bisa disebut sebagai bangsa yang sedang porak- poranda, karena tidak adanya kepemimpinan. Buktinya, krisis multi-dimensi yang sedang kita hadapi dewasa ini, sama sekali tidak pernah mendapatkan pemecahan - kalau tidak dikatakan justru diperparah oleh ulah para pemimpin kita sendiri-. Ada pejabat yang menganggap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia sebagai persoalan pemerintah daerah ,yang aku tahu banyak peraturan yang menyangkut diri mereka dibuat oleh pemerintah pusat. Demikian juga pejabat lain yang tidak mau meninggalkan jabatan, walaupun telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri di Jakarta sebagai pihak yang bersalah. Alasannya, karena menunggu putusan Pengadilan Tinggi. Bukankah ini berarti sebuah pengakuan, bahwa sistem pengadilan kita bekerja di bawah pengaruh mafia peradilan? Berjejemya pejabat dan anggota dewan wakil rakyat yang kita elu-elukan di hotel Merolop (hotel di kawasan Jakarta Pusat dengan uang sewa kamar termewah di Jakarta) untuk antri mendapatkan bagian uang dari proyek ketetapan-ketetapan MPR yang mereka sepakati. Sehinggan menghianati suara rakyat yang mati kelaparan. Adakah yang lebih tragis dari keadaan kita saat ini?
PANTASKAH kita menjadi negara miskin, mendekati negara-negara Afrika seperti Etiopia, Somalia, dan Sudan atau negara gurun pasir lainnya? Rasanya tak pantas, terutama bila ditilik dari posisi geografis dan lingkungan alamnya. Tetapi mengapa kita menjadi bangsa miskin dan membiarkan ratusan bayi mati di tempat pengungsian dan daerah-daerah bencana setiap minggunya? Apa sebetulnya yang terjadi? Dari mana datangnya kemiskinan itu? Menurut SH Alatas, yang melakukan riset mendalam tentang soal ini di kalangan bangsa Melayu (Indonesia, Malaysia, dan Brunei) kemiskinan itu datangnya dari konstruksi yang dibuat peneliti-peneliti kolonial yang \"memandang Melayu dari atas kapal atau benteng\" lalu membuat kesimpulan. Konstruksi itu berupa pencitraan bangsa Melayu sebagai bangsa pemalas yang suka mencambuk kerbau atau sapi (yang juga simbol kemalasan) untuk membantunya bekerja. Dalam proses penaklukan Indonesia, konstruksi itu digunakan pemerintahan Belanda untuk menggolongkan bangsa Melayu sebagai bangsa kelas tiga, di bawah bangsa Eropa dan Timur. Tapi jelasnya, semua permasalahan negara ini berawal dari permasalahan utamanya, adalah krisis kepemimpinan.
DR Syahrir menunjuk kepada pemerintahan kita yang memiliki sejumlah orang berkuasa, namun tidak sanggup memimpin. Bahkan, aparat penegak hukum kita cenderung melanggar konstitusi. Pada Klinik Hukum Merdeka, adakah DPR/MPR kita dewasa ini legal atau tidak, mengingat 60 % suara hasil pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999 yang lalu dihitung, namun pemerintah telah mengumumkan Surat Keputusan (SK) Presiden, mengenai komposisi DPR/MPR -tidak dijawab hingga saat ini oleh Mahkamah Agung (MA). Begitu juga, pertanyaan penulis kepada lembaga tersebut, adakah maklumat keadaan bahaya yang dikeluarkan tanggal 21-23 Juli 2001 tersebut merupakan tindakan legal atau illegal berdasarkan konstitusi, juga tidak mendapatkan jawaban.
Ditambah lagi, aku lihat sendiri bahwa showroom mobil termahal (mewah) di dunia saat ini berada di halaman gedung DPR, yang dipenuhi oleh mobil para anggotanya, bahkan tidak mengindahkan besarnya jumlah kubik silinder (cc) yang dimiliki kendaraan tersebut, aku bisa saksikan mobil-mobil kelas dunia keluaran terbaru berjejer disana, berdiri sombong di atas derita berjuta-juta rakyat Indonesia. Anggota DPR/MPR kita tengah menikmati kekuasaan yang mereka peroleh tanpa memperhatikan halal, sah atau tidaknya kekuasaan mereka itu.
Dengan demikian, pengamatan Syahrir itu juga berlaku bagi para anggota DPR/MPR kita dewasa ini. Keluhan birokrasi pemerintahan dan kejengkelan rakyat sama sekali tidak diperhatikan. Bahkan DPR tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat, melainkan hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri tampak jelas di mataku.
Masalahnya adalah persoalan klasik yang harus kita hadapi sekarang ini. Kepercayaaan (trust) masyarakat kepada sistem pemerintahan kita dewasa ini menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan. KKN, terutama dalam bentuk korupsi, kini tampak nyata sudah tak terkendali Iagi. Benarlah kata aIm. Mahbub Junaidi: bahwa nanti kita harus membayar pajak karena mengantuk, seolah-olah sebuah kenyataan yang hidup. Runtuhnya kekuasaan Wangsa Syailendra (pembangun candi Borobudur) dan kerajaan Majapahit (untuk membiayai perang dan perluasan kawasan) -misalnya, akhimya runtuh karena keduanya hanya sekadar berkuasa tetapi tidak memimpin. Kekuasaan wangsa Syailendra dianggap tidak ada oleh kaum Hindu-Budha yang membangun candi Prambanan yang di kemudian hari hijrah ke Kediri di bawah Darmawangsa dan mengingkari kekuasaan wangsa tersebut. Kekuasaan Majapahit, yang semula memeluk agama Hindu-Budha/Bhairawa, akhimya juga hilang tanpa dapat ditolong lagi karena ketidakmampuan mempertahankan keadaan di hadapan tantangan kaum muslimin, terutama di bawah pimpinan Sayyid Jamaluddin Husaini dalam abad ke-15 Masehi.
Saat ini kita tidak memiliki pemimpin, melainkan hanya seorang penguasa belaka, tentu didasarkan pada sebuah kenyataan di atas. Yaitu, bahwa krisis multidimensi yang kita hadapi sekarang ini, memerlukan jawaban serba-bagai dari para penguasa pemerintahan; dari menciptakan sistem politik baru yang mengacu kepada etika dan moral, melalui kedaulatan hukum dan perlakuan yang sama bagi semua warga negara di depan undang-undang, hingga pengembangan orientasi ekonomi yang tepat, semuanya itu memerlukan kepemimpinan yang benar. Kepemimpinan yang memiliki keberanian moral, kemauan politik (political will) dan kejujuran untuk mengutamakan kepentingan rakyat, bukannya kepentingan sendiri ataupun kelompok. Karena kepemimpinan formal yang seperti itu belum ada, pantaslah bila ada anggapan, kita tidak memiliki pimpinan saat ini, melainkan hanya penguasa saja.