Seminar Tanggap Bencana KMPA ITB: Kesiapsiagaan dalam Keindahan

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh


BANDUNG, itb.ac.id — Keluarga Mahasiswa Pencinta Alam Ganesha (KMPA) Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan Seminar Tanggap Bencana bertajuk “Kesiapsiagaan dalam Keindahan: Membangun Pariwisata Berkelanjutan di Tengah Risiko Bencana untuk Wilayah Bandung dan Sekitar”, di Auditorium Lantai VI, Gedung Freeport, ITB, Sabtu (11/5/2024).

Seminar yang dihadiri berbagai kelompok mahasiswa pecinta alam ini mengundang dua narasumber, Dr. Eko Yulianto, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN dan Budi Budiman Wahyu, S.T., M.T., Penata Penanggulangan Bencana Ahli Muda BPBD Jawa Barat.

Dr. Eko mengatakan bahwa kajian risiko bencana skala detail adalah syarat mutlak dalam penanggulangan bencana. “Kajian risiko bencana adalah metode untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan ‘musuh’ (ancaman) ataupun ‘diri sendiri’ (kapasitas). Tanpa menggunakan hasil kajian risiko bencana skala detail, kebijakan pengurangan risiko bencana akan bersifat konservatif, umum, dan tidak sistemik. Data adalah amunisi utamanya, data berkualitas yang diperoleh melalui penelitian detail menggunakan metode yang baik,” ujarnya.

Selain itu, Dr. Eko menjelaskan ancaman-ancaman bencana di cekungan Bandung. Ada ancaman yang frekuensinya tinggi tetapi resikonya rendah seperti banjir, longsor, dan kekeringan serta ancaman yang frekuensinya rendah tetapi resikonya tinggi seperti gempa bumi dan erupsi gunung api.

“Hasil penelitian yang saya lakukan menggunakan metode geolistrik menunjukkan ada empat kejadian gempa yang berkaitan dengan Sesar Lembang di sekitar garis patahan, sampai kedalaman 4,5 meter. Dua di antaranya terjadi 500 dan 2000 tahun lalu dengan kekuatan bermagnitudo 6,6 hingga 6,8,” katanya.

Sementara itu, Budi Budiman Wahyu, S.T., M.T. menjelaskan mengenai manajemen risiko dan penanggulangan bencana. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, dan lain-lain. Risiko bencana dapat terjadi di mana dan kapan saja.

“Setiap warga perlu mengetahui ancaman dan risiko bencana yang berpotensi terjadi di lingkungannya. Tidak hanya risiko bencana di rumah, tetapi juga risiko bencana yang ada pada lingkungan aktivitas, baik aktivitas rutin ataupun temporer seperti liburan, kunjungan, dan lain-lain,” katanya.

Selain itu, beliau menjelaskan tentang siklus penanggulangan bencana, mulai dari pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, dan konstruksi.

Beliau mengatakan, sebagai daerah dengan ratusan destinasi wisata alam, Jawa Barat harus menjadi Resilience Province. “Resilience Province adalah provinsi yang mempunyai kemampuan mencegah, beradaptasi, meminimalkan dampak yang merugikan, dan cepat memulihkan diri dari bencana secara tepat dan efisien. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara seluruh pihak mulai dari pemerintah, dunia usaha, pakar akademisi, masyarakat, dan media massa. Jawa Barat dengan segala ancaman bencananya membuat kita harus selalu waspada dan siap untuk menghadapi bencana,” katanya.

Reporter: Erika Winfellina Sibarani (Matematika, 2021)