Seminar Teknolinguistik, Mengungkap Kerja Bahasa dan Musik dalam Masyarakat Global

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – Kelompok Keahlian Ilmu-ilmu Kemanusiaan (KKIK) Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB menyelenggarakan Seminar Internasional Teknolinguistik dengan tema “Bagaimana Kerja Bahasa dan Musik dalam Masyarakat Global?” Kamis (21/02/2019) di Aula Timur ITB. Seminar ini diisi oleh pakar-pakar baik dari pemerintah maupun akademisi di antaranya Sulistyo S.Si., S.T., M.Si dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Indra Ridwan, PhD dari Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, dan Prof. Sulfikar Amir dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura.


Seminar tersebut dibuka oleh Harry Nuriman, salah satu pengajar pada Kelompok Keahlian Ilmu Kemanusiaan ITB. Dia menjelaskan, alasan diselenggarakannya seminar tersebut atas dasar keresahan dan keprihatinan terhadap mengikisnya kebudayaan di zaman serba canggih ini. “Kita punya lebih dari 700 bahasa, tapi penuturnya terus berkurang karena digerus zaman, seolah-olah teknologi harus berseberangan dengan budaya,” ucap Harry Nuriman. 

Ia yakin bahwa penggunaan teknologi harusnya memudahkan penyimpanan data linguistik dan juga penyebar luasannya. “Ini juga termasuk musik, kita sangat kaya akan musik, tapi saat mau membuat MIDI (Musical Instrument Digital Interface), sampling musik kita sendiri, kita harus bayar ke orang luar karena mereka telah lebih dulu mengurus hak ciptanya,” lanjutnya lagi. Untuk itu harusnya ada jembatan antara teknologi dan linguistik yang difrasakan sebagai teknolinguistik.

Pentingnya Data

Dalam sesi seminar, Sulistyo dari BSNN membawakan tema “Kebijakan dan Peraturan untuk Deteksi Ancaman dalam Sosial Media”. Ia mengajak peserta seminar untuk memahami seberapa pentingnya bahasa data, apalagi data yang bersifat rahasia. “Pengguna (internet) yang semakin banyak mengartikan ada semakin banyak data dan lalu lintas datanya semakin kompleks juga,” jelasnya. 

Kehilangan data-data tentu akan sangat merugikan, baik secara ekonomi bahkan secara moral. Pemerintah telah mengupayakan dua Rancangan Undang-undang (RUU) untuk hal ini, salah satunya RUU Perlindungan Data Pribadi. “Teknologi dan linguistik yang dikombinasikan tidak bisa kita kategorikan selalu baik atau buruk, tapi yang pasti harus ada legalitas yang membantu kita mengidentifikasi ancaman,” ujarnya.

Sementara itu, Indra Ridwan menyampaikan, bahwa sudah saatnya Indonesia mandata musik-musik indah yang banyak tersebar di Nusantara. Hal ini penting pertama untuk dokumentasi sehingga tidak perlu takut ada bunyi khas Indonesia yang hilang, kedua akan menjadi cara kita mengenalkan Indonesia ke luar negeri sekaligus sebagai simbol kekuatan/kedaulatan budaya. “Jelas, dokumentasi sekaligus pembagian dengan jangkauan luas dan cepat hanya bisa dilaksanakan dengan teknologi,” kata Indra dengan tema seminar yang ia bawa tentang SoundTech is in the Palm of Our Hand.

“Saya yakin dunia terus berubah, saya sangat percaya teknologi bisa banyak membantu dalam dunia musik, harapan saya kita akan memiliki data ‘Sound of Nusantara’,” tambah Ridwan.

Pembicara terakhir, Prof. Sulfikar Amir menjelaskan topik yang juga tak kalah menarik, “The Sociotechnical Logic of Industry 4.0”. Pada dasarnya, Sulfikar mengajak peserta seminar yang hadir untuk kembali menggunakan akal sehat, logika, dalam menghadapi frasa industri 4.0. 

Pria asal Indonesia yang mengajar di Nanyang Technological University itu menyayangkan apabila tatanan sosial saat ini terlalu fokus soal industri 4.0 dan melupakan pengembangan budaya dan bahasa yang menjadi kekuatan Indonesia. “Saya sendiri jujur belum pernah mendengar kata technolinguistics, tapi saya yakin ini bukan hal tidak mungkin karena pada dasarnya tidak ada teknologi tanpa bahasa,” ujarnya.

Reporter: Ferio Brahmana (Teknik Fisika 2017)