Sosok Kartini ITB: Marlia Singgih Wibowo
Oleh Neli Syahida
Editor Neli Syahida
Bukan lagi peran ganda yang harus ia jalani, melainkan quintuple, lima peran sekaligus. Tiga peran yang ia harus jalankan terkait dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Peran keempat adalah peran untuk mengembangkan institusi ITB di bidang Hubungan Masyarakat dan Alumni. "Satu lagi adalah fungsi pribadi, yaitu sebagai istri dan Ibu," kata Marlia.
Tri Dharma Perguruan Tinggi sendiri terdiri dari tiga tujuan, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di bidang pendidikan, beliau memaparkan tugas beliau adalah mendidik anak-anak Indonesia. "Mendidik itu sebenarnya kan tugas seorang Ibu. Alhamdulillah di sini selain mendidik anak-anak saya, saya juga berkesempatan untuk mendidik anak-anak Indonesia, khususnya di bidang Farmasi," katanya. Untuk bidang penelitian, keahlian beliau adalah di bidang Mikrobiologi Farmasi. Ia memaparkan begitu besar SDA di Indonesia yang bisa dikembangkan, salah satunya mikroorganisme yang menjadi fokus penelitian beliau. Di bidang pengabdian masyarakat, ia bersama dengan civitas akademik lainnya di Farmasi memberikan layanan kepada industri maupun instansi lainnya untuk mengujikan produknya, baik dari segi mutu, keamanan, maupun efikasi. Sebagai Direktur Humas dan Alumni, ia bertanggung jawab mengatur publikasi ITB ke masyarakat luar melalui berbagai media dan menjaga hubungan antara alumni ITB dengan ITB.
Dalam menjalani aktivitasnya yang cukup padat, ia tidak merasa terbebani. Ia menikmati aktivitasnya, terutama sebagai Direktur Humas dan Alumni. "Hal yang paling saya sukai dalam menjalankan aktivitas sebagai Direktur Humas adalah menghadapi pemberitaan mass media terhadap ITB. Mass media itu suka kalau ada cerita tentang ITB yang kontroversial," katanya sambil tertawa. Sedikit menyinggung tentang pemberitaan media mengenai aksi demonstrasi mahasiswa ITB beberapa waktu yang lalu, ia berpendapat, "Ah itu mah bukan duka. Itu adalah kembang-kembang kehidupan ITB. Namanya juga mahasiswa, menandakan bahwa mereka itu dinamis," tutur Marlia.
Keluarga Adalah Prioritas Pertama
Menurut beliau, kunci penting dalam menjalankan kelima peran tersebut adalah manajemen waktu dan prioritas. "Bagi saya keluarga adalah nomor satu," tuturnya. Ketika terjadi benturan kepentingan antara karir dan keluarga, tanpa ragu-ragu ia akan mendahulukan kepentingan keluarganya. Ia mencontohkan, "Sebenarnya tanggal 5-6 Mei besok saya diminta BPOM (Badan Pengawas Obat & Makanan-red) untuk memberikan pelatihan. Tapi di saat yang sama, anak saya yang kecil harus menghadapi Ujian Nasional. Tanpa ragu-ragu saya menolak dan meminta maaf, karena saya sudah janji untuk mendampingi anak saya selama ia ujian," kata Marlia.
Sepadat apapun kegiatannya, ibu dari dua orang putra ini selalu menyempatkan untuk berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain melalui rutinitas harian atau mingguan. "Kami selalu menyempatkan sholat maghrib dan makan malam bersama. Di situlah interaksi saya dengan anak-anak terjadi," tambahnya. Selain rutinitas harian, ia juga memiliki rutinitas mingguan bersama dengan keluarganya. "Sabtu sore biasanya kami berkunjung ke rumah Ibu saya. Malamnya, kami malam mingguan, entah itu makan di luar atau nonton," tambahnya. Hari Minggu adalah hari olahraga keluarga. Dan baru pada sore harinya, ia memulai lagi aktivitasnya, seperti menulis atau mencari-cari bahan penelitian.
Emansipasi Wanita di Mata Marlia
Tidak semua wanita berani dan mau mengambil peran yang lebih di dalam masyarakat. Sebagian lebih memilih untuk tetap di rumah dan hanya mengurus keluarga saja. Lain halnya dengan Marlia yang berani mengambil lima peran sekaligus. "Kalau bisa memberikan ilmu saya kepada masyarakat, kenapa tidak?" ujarya.
Mengambil sudut pandang yang lain, menurutnya emansipasi wanita itu bukan berarti bahwa wanita harus melakukan semua pekerjaan yang dilakukan pria. Wanita sudah diberikan porsi dan perannya. Ia mencontohkan, ada suatu fungsi spesifik pada wanita yang tidak dimiliki oleh pria, seperti melahirkan. "Wanita nggak usahlah mengambil pekerjaan pria, seperti harus menambang. Itu biarlah dikerjakan oleh pria," imbuhnya.
Ketika melihat sejarah emansipasi wanita yang dibawa oleh R.A. Kartini, yang dipermasalahkan adalah rendahnya pendidikan wanita pada zaman tersebut. "Kartini pada saat itu sebenarnya mempermasalahkan poligami. Ia gundah karena jika ia ditinggalkan, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ia tidak memiliki pendidikan," ceritanya.
Oleh karena itu, menurutnya yang dipermasalahkan dalam emansipasi wanita adalah kesetaraan hak antara wanita dan pria dalam memperoleh pendidikan. "Lihat saja di pelosok-pelosok, apakah anak perempuan sudah mendapatkan porsi yang sama dengan anak laki-laki dalam hal pendidikan?", tanyanya. Dengan pendidikan, wanita mampu berpikir logis dan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya, atau minimal dapat mendidik anaknya dengan baik. "Perempuan itu kan dari bahasa sanskerta, 'empu' yang artinya mulia. Wanita itu sangat mulia. Wanita itu terlahir untuk menjadi pendidik," katanya.
Terakhir ia berpesan kepada seluruh Kartini-Kartini Indonesia. "Selalu ingat kewajiban dulu, baru hak. Sebagai wanita, kita harus mencitrakan diri kita sebagai makhluk yang mulia. Dengan begitu, lingkungan sekitar kita akan menghormati kita sebagai wanita," tutupnya.