Studium Generale ITB: Mewujudkan Kampus yang Aman dan Bebas dari Kekerasan Seksual

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh


BANDUNG, itb.ac.id – Institut Teknologi Bandung (ITB) kembali menggelar Studium Generale, di Aula Barat, ITB Kampus Ganesha, Rabu (22/5/2024) yang diikuti ratusan mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Kuliah umum tersebut menghadirkan Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Indonesia Periode 2022-2024, Prof. Manneke Budiman, S.S., M.A., Ph.D., dengan tema "Mewujudkan Kampus yang Aman dan Bebas dari Kekerasan Seksual".

Prof. Manneke menekankan urgensi permasalahan kekerasan seksual di lingkungan akademik, mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini memerincikan 21 kategori kekerasan seksual yang dibagi menjadi empat bentuk, mulai dari pelecehan melalui tindakan verbal, tindakan nonfisik, tindakan fisik, hingga tindakan melalui teknologi informasi dan komunikasi.

"Ini (kekerasan seksual) semua sudah ada dan sudah beredar di mana-mana. Tetapi, intinya itu adalah serangan terhadap tubuh, serangannya itu bisa verbal, bisa pandangan, bisa lewat siber, dan tentu saja fisik. Yang paling utama, yang paling sering juga disalahpahami, suatu perbuatan baru menjadi suatu kekerasan seksual ketika dilakukan dengan tekanan, pemaksaan (atau) tanpa persetujuan dari korbannya atau tidak menghormati martabat korban sebagai seorang manusia. Ini sangat longgar teman-teman, sangat subjektif, kapan menjadi kekerasan? kapan tidak? Ditentukan oleh rasa nyaman dan penerimaan korbannya," ujarnya.

   

Prof. Manneke juga menguraikan dilema terkait konsep persetujuan (consent) dalam hubungan seksual di kampus. Beliau menyampaikan bahwa sekalipun hubungan seksual dilakukan dengan persetujuan, jika terjadi di kampus, tetap melanggar aturan kesusilaan dan tata tertib kampus.

Selain itu, terdapat berbagai faktor yang mendukung terjadinya kekerasan seksual di kampus, di antaranya insting seksual, relasi gender yang timpang, dan relasi kuasa.

Menurutnya, insting seksual pada manusia sangat primitif dan agresif. Pendidikan dan kebudayaan dibuat untuk menahan insting ini. Namun, dalam situasi kampus, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa atau antara senior dan junior dapat memperbesar risiko terjadinya kekerasan seksual.

Beliau pun mengangkat isu gangguan kesehatan mental yang meningkat di kalangan mahasiswa, yang dapat menjadi latar belakang terjadinya kekerasan seksual. Masalah besar tersebut dapat berasal dari tekanan akademik, distraksi media sosial, dan masalah pribadi yang kerap membuat mahasiswa rentan mengalami gangguan kesehatan mental.

   

Prof. Manneke memberikan beberapa saran praktis untuk mencegah kekerasan seksual di kampus, seperti pentingnya menjaga batasan pribadi dan tidak mudah memercayai orang yang menunjukkan sikap terlalu dekat secara tiba-tiba.

"Berhati-hatilah, mulai kewaspadaan dibangun. Kalau di tempat umum ada orang yang sangat dekat, kan tidak nyaman, pasti geser secara tidak sadar menjauh. Jadi, ada garis yang tidak kelihatan yang kita tarik sendiri sebagai garis privat kita. Kalau teritori ini dilanggar, kita merasa tidak nyaman. Biasanya para ‘pemangsa’ kemudian (masuk ke) langkah berikutnya, masuk ke jarak fisik untuk melihat kita bereaksi. Sadari, bahwa batas saya sudah dilanggar, kewaspadaan itu lebih penting daripada reaksi yang langsung kemudian membuat lengah," tuturnya.

Kegiatan ini menjadi langkah penting dalam upaya ITB untuk memperkuat komitmen melawan kekerasan seksual dan memastikan bahwa kampus tetap menjadi tempat yang aman bagi seluruh sivitas akademika sesuai dengan visi kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.

Reporter: Iko Sutrisko Prakasa Lay (Matematika, 2021)