Tanggapan Pakar Transportasi ITB Soal Jalan Tol Dalam Kota Bandung, Perlu Solusi Jangka Panjang

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh

Ilustrasi Tol Dalam Kota Bandung. (Pexels/jeshoots.com)

BANDUNG, itb.ac.id - Rencana pelanjutan pembangunan Tol Dalam Kota Bandung atau Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR) menjadi perbincangan di masyarakat. Hal ini menuai pro kontra. Terkait hal tersebut, Dr. Aine Kusumawati, S.T., M.T., pakar transportasi dari Kelompok Keahlian Rekayasa Transportasi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL), Institut Teknologi Bandung (ITB), memberikan pandangannya.

“Jalan tol (dalam Kota Bandung) itu tidak akan menyelesaikan masalah (kemacetan),” tuturnya, Kamis (15/3/2024).

Berdasarkan rencana, infrastruktur tersebut diharapkan dapat membangun konektivitas transportasi yang kuat dan mengatasi masalah kemacetan di Kota Bandung. Namun, Dr. Aine mengatakan, proyek itu hanya dapat menjadi solusi jangka pendek, lantaran dalam beberapa tahun kemudian kapasitas maksimal jalan akan terpenuhi dan permasalahan kemacetan akan muncul kembali. Dengan dibangunnya tol pun, kemungkinan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi akan semakin meningkat.

Dari komposisi lalu lintas, jalanan di Kota Bandung didominasi kendaraan roda dua. Adapun proyek tol yang akan dibangun tidak ditujukan bagi pengguna kendaraan roda dua. Selain itu, meninjau rute yang akan dibangun, tidak semua pengguna kendaraan roda empat akan memanfaatkan tol dalam kota karena keterbatasan rute yang dimiliki. Hal tersebut mengindikasikan bahwa infrastruktur itu hanya akan mengatasi sebagian kecil dari akar permasalahan kemacetan di Kota Bandung.

Pembangunan Tol Dalam Kota Bandung tentunya akan membawa berbagai dampak bagi masyarakat. Dalam jangka pendek, proses konstruksi akan menyebabkan kemacetan yang semakin parah di ruas-ruas jalan. “Saat jalan tol sudah jadi, bukan berarti dia akan menyelesaikan masalah, karena yang berpindah mungkin tidak banyak. Tapi, bayangkan nanti kalau ada lalu lintas yang di-generated oleh jalan tol tersebut. Orang-orang yang tadinya nggak kepikiran naik mobil mungkin jadi naik mobil,” ujarnya.

Pola pergerakan masyarakat pun akan berubah, beban lalu lintas baru di daerah-daerah yang dihubungkan oleh tol akan muncul, dan kapasitas jalan akan tercapai. Pada akhirnya, kemacetan akan timbul kembali.

“Kita tidak bisa terus-menerus menyediakan prasarana untuk mengakomodasi demand yang ada. Demand akan terus meningkat. Kalau demand terus meningkat, berarti kita harus terus membangun jalan baru,” tuturnya.

Solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan kemacetan di Kota Bandung menurutnya adalah angkutan massal. Kendala yang mungkin dihadapi dalam membangun fasilitas angkutan umum massal adalah biaya dan kondisi eksisting jalanan di Kota Bandung. Badan jalan yang kecil tidak memungkinkan dibangunnya jalur khusus untuk transportasi umum tipe busway. Selain itu, transportasi umum eksisting seperti angkot dan Trans Metro Bandung (TMB) dinilai kurang efektif untuk dikembangkan karena jaringan jalan Kota Bandung sudah terlalu padat. Oleh karena itu, dibutuhkan angkutan umum massal yang memiliki jalur sendiri berupa jalur elevated (di atas permukaan tanah) dengan tipe transportasi Light Rail Transit (LRT). Dengan dikembangkannya fasilitas transportasi umum yang layak dan memadai, masyarakat lambat laun akan beralih sepenuhnya ke transportasi umum dan masalah kemacetan di Kota Bandung akan teratasi.

Menurut Dr. Aine, jika proyek tol jadi dibangun, diperlukan feasibility study (studi kelayakan) terbaru yang dapat menunjukkan bahwa benefit yang diberikan oleh tol secara signifikan dapat dirasakan masyarakat Kota Bandung. Studi kelayakan ini meliputi trase, jumlah lalu lintas yang berpindah menggunakan tol, hingga analisis ekonomi mengenai perbandingan biaya investasi dan manfaat tol.

Reporter: Nicholas Bayu Mahendra (Teknik Sipil, 2021)