Tantangan dan Potensi Keramik Maju sebagai Alternatif Material Reaktor Nuklir Masa Depan
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Workshop Series LPPM ITB kembali digelar sebagai salah satu bentuk edukasi sains untuk masyarakat luas pada Jumat (16/12/2022). Pada sesi tersebut, Pipit Fitriani, Ph.D., dari Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknologi FMIPA ITB menjadi narasumber yang membawakan materi berjudul “Advanced Ceramic Materials: The Challenges Faced and Opportunities Ahead”. Topik ini sejalan dengan fokus penelitian Pipit tentang keramik maju dan komposit berbasis silikon karbida untuk aplikasi struktural reaktor nuklir.
Material keramik maju atau advanced ceramic berbeda dengan keramik tradisional yang berasal dari tanah liat. Dari seluruh kelompok keramik maju, silikon karbida (SiC) merupakan salah satu material paling penting dan paling luas aplikasinya. Material ini memiliki sifat mekanik sangat baik, konduktivitas listrik yang tinggi, tahan terhadap oksidasi, serta stabil apabila terkena radiasi. Keunikan sifat SiC ini berhasil menarik perhatian para peneliti untuk mengembangkannya sebagai material pada reaktor nuklir.
Namun karena sifat alamiah keramik yang mudah pecah, maka SiC juga memerlukan perlakuan khusus untuk meminimalkan risiko kerusakan pada pengaplikasiannya. Pada titik ini para peneliti telah melakukan terobosan baru melalui penguatan ulang struktur SiC dengan penambahan bahan lain yang disebut Ceramic Matrix Composite atau CMC.
Pipit menjelaskan, “Jika dianalogikan, kita bisa membayangkan lembaran SiC fiber ini sebagai anyaman bambu yang memiliki lubang di antara sisi anyamannya, kemudian lubang tersebut kita isi dengan bahan lain agar anyaman baru sekarang lebih padat dan lebih kuat. Dengan konsep yang sama, lubang pada SiC fiber akan diisi dengan serbuk SiC sehingga kini kita memiliki SiC yang lebih padat dan kuat meski diberikan tekanan atau gaya yang sangat besar.”
Untuk menghasilkan CMC dengan performa maksimal, setidaknya ada tiga faktor kunci yang harus dipertimbangkan. Faktor pertama terkait metode fabrikasi. Dalam penelitian terbarunya, Pipit mengembangkan metode fabrikasi Electrophoretic Deposition (EPD) yang dilanjutkan dengan proses pemanasan. Metode EPD memanfaatkan gaya listrik pada material bermuatan agar dapat menempel pada lapisan yang diinginkan. Metode ini bisa dibilang efektif untuk menghasilkan CMC yang padat dengan kepadatan tertinggi yang pernah dihasilkan mencapai 97%.
Faktor kedua adalah optimasi CMC melalui simulasi. Proses simulasi dilakukan untuk mendapat gambaran proses pemanasan sehingga dapat digunakan sebagai basis penentuan model geometris CMC yang lebih kompleks dengan ketahanan dan kepadatan yang baik. Hal ini sekaligus menjadi dasar meminimalkan faktor risiko yang mungkin terjadi akibat struktur geometris CMC ataupun proses pemanasan yang tidak homogen.
Faktor ketiga yaitu mengevaluasi performa CMC pada lingkungan yang memiliki radiasi. Pengujian dilakukan dengan menembakkan ion/proton pada permukaan CMC selama jangka waktu tertentu. Apabila CMC cukup stabil, kerusakan dapat diminimalisir atau bahkan akan teramati dalam jangka waktu yang lama. Hasil penelitian terhadap berbagai macam CMC yang divariasikan material tambahannya menunjukkan bahwa material tambahan pada CMC berperan sangat penting dalam menjaga kestabilannya terhadap radiasi.
“Jika kita ingin melihat substitusi sumber energi fosil yang makin hari makin terbatas, energi nuklir yang lebih ramah lingkungan ini tentu seiring waktu semakin dibutuhkan. Dengan penemuan CMC sebagai material aktif untuk reaktor nuklir yang lebih aman, sudah semestinya Indonesia bisa mempertimbangkan secara lebih serius pemanfaatan energi nuklir demi terwujudnya pengelolaan energi yang berkelanjutan,” ujar Pipit di akhir sesi pemaparan.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)