Urban Farming Belum Jawab Ketahanan Pangan
Oleh Luh Komang Wijayanti Kusumastuti
Editor Luh Komang Wijayanti Kusumastuti
Isu ketahanan pangan Indonesia, yaitu pangan yang semakin lama semakin tidak bisa diswasembadakan terutama dalam produk pertanian menarik Dr. Petrus Natalivan, S.T., M.T., dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB bersama timnya untuk mengadakan riset mengenai isu tersebut. Berikut adalah rangkuman penelitian yang dilakukan Petrus dan kawan-kawan.
Ketahanan Pangan dari Sudut Mata Tata Ruang
Dilihat dari sudut pandang tata ruang, Petrus Natalivan, pemimpin riset yang berjudul 'Pengembangan Konsep Food Oriented Development Sebagai Alternatif Solusi Ketahanan Pangan' ini menyebutkan bahwa kecilnya indeks ketahanan pangan dilihat dari indikasi berkurangnya lahan pertanian. Penduduk perkotaan yang cenderung meningkat setiap tahunnya diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk di perkotaan maupun urbanisasi yang sulit dikendalikan.
Penduduk perkotaan tersebut memerlukan lahan sebagai wadah aktivitasnya yang heterogen. Namun keheterogenan tersebut adalah yang bukan aktivitas pertanian sehingga menyebabkan berubahnya guna lahan. Perubahan guna lahan tersebut rata-rata mengubah lahan pertanian menjadi lahan industri, komersial, maupun permukiman.
Permasalahan lainnya yang dilihat Petrus mengenai isu ketahanan pangan adalah berkurangnya masyarakat yang bermatapencaharian petani. Hal tersebut disebabkan karena paradigma masyarakat mengenai menjadi petani masih kurang baik. Di Indonesia, pendapatan petani masih terbilang rendah akibat dari status kepemilikan lahan pertanian serta kurangnya kebijakan pemerintah dalam mengembangkan pertanian.
Konsep Food Oriented Development (FOD)
FOD merupakan konsep pembangunan perkotaan yang mampu menjadikan kota sebagai penyedia pangan bagi warganya secara berkelanjutan. Konsep tersebut mempertimbangkan aspek ketahanan pangan selain juga mempertimbangkan sosial ekonomi dalam pembangunan fisik perkotaan. Salah satu perwujudan dari FOD adalah bertani di perkotaan atau biasa disebut urban farming dilihat Petrus sebagai hal yang mampu menciptakan ketahanan pangan.
Urban farming telah terbukti berhasil di negara-negara maju yang bahkan lahan pertaniannya lebih sedikit dari Indonesia. Contohnya adalah Kanada dan Inggris yang telah menyisipkan mengenai urban farming di dalam peraturan dan perencanaan ruang kotanya. Keberhasilan tersebut bermula dari krisis ekonomi yang menyebabkan kesulitan pangan. Sehingga pada masa itu timbul inovasi untuk mengembangkan pertanian di kawasan perkotaan. Pada risetnya kali ini, Petrus ingin mencari tahu apakah di Indonesia, khususnya Kota Bandung, urban farming mampu mewujudkan ketahanan pangan tersebut.
Perlu Gerakan Urban Farming Masal
Mulai dari lahan kota yang terbatas hingga karakteristik masyarakat di perkotaan, kemudian muncul pertanyaan, apakah ada peluang bagi urban farming?, Petrus mengungkapkan hasil temuannya, "Ternyata di Bandung masih belum bisa, kami meneliti dengan mengamati prosesnya. Mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan panen." Keterbatasan pertama yang dihadapi adalah lahan. Beberapa kasus di Bandung tersedia lahan milik privat diserahkan untuk melakukan urban farming, namun memang kendalanya lahan tersebut bisa saja diminta kembali sewaktu-waktu. Sehingga hal tersebut tidak menjamin ketahanan pangan yang berkelanjutan
Kedua, masyarakat masih belum sadar dengan isu ketahanan pangan sehingga memulai pun masih dianggap sulit. "Urban farming yang dilakukan di Bandung masih berupa komunitas sosial, belum massive. Jadi masih belum bisa untuk keberlanjutan ketahanan pangan," ungkap Petrus. Padahal teknologi dan desainnya bisa saja diaplikasikan, seperti penanaman vertikal maupun hidroponik. Ada permasalahan sosial juga yang bisa ditimbulkan jika hanya beberapa penduduk yang melakukan urban farming. Akan ada keluhan pencurian tanaman atau hasil pertanian dan perkebunan. Jika saja semua sadar dan urban farming dilakukan secara menyeluruh tentu tidak akan lagi muncul kasus kelangkaan ataupun harga tinggi.
Selain dapat menjawab isu ketahanan pangan, urban farming sebenarnya dapat memancing ekopariwisata. Keragaman tanaman yang ditanam di sebuah kawasan di perkotaan akan menarik masyarakat di sekitar maupun di luar kawasan tersebut untuk mengunjunginya sebagai sarana rekreasi. Namun, ketersediaan lahan yang terbatas membatasi pula keragaman tanaman tersebut sehingga masih belum berpotensi sebagai ekowisata di Kota Bandung.
"Kuncinya adalah menggerakkan sosial agar urban farming bisa berjalan secara massal. Kawasan perkotaan jangan sampai melupakan sektor pertanian. Sistem bisa disiapkan, dikembangkan mulai di tingat RT dan RW serta mengembangkan kemampuan agrikultur warganya. Di sisi pemerintah, perlu adanya sosialisasi dan akses informasi agar bisa berjalan sinergi," tutup Petrus.