Webinar Geologi: Fenomena Hidrogeologi Indonesia

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id—Webinar Geologi Menyapa ke-3 kembali diselenggarakan pada 13 Juni 2020. Webinar kali ini bertemakan hidrogeologi dengan judul fenomena hidrogeologi di Indonesia. Acara tersebut diisi oleh Prof. Lambok M. Hutasoit, Ph.D., dengan moderator Agus M. Ramadhan, Ph.D.



Menurut Prof. Lambok, tujuan materi fenomena hidrogeologi ini untuk menunjukkan masalah-masalah hidrogeologi yang ada di Indonesia dan bersama-sama mencari solusinya untuk kemajuan bangsa. 

Ia menjelaskan, secara umum kebutuhan air di Indonesia sebanyak 60% diambil dari air tanah dan sisanya diambil dari air permukaan. Di daerah Bandung sendiri, jika dilihat dari peta geologinya, terbagi pada beberapa formasi akuifer (lapisan air) utama. Misalnya formasi Cibereum. Pada daerah Cisarua juga terdapat banyak akuifer, sedangkan pada daerah Kosambi berperan sebagai akuitar tetapi juga bisa menjadi akuifer dalam jumlah yang sedikit.

Guru Besar di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB itu berperan dalam penelitian penurunan air tanah di daerah Bandung bersama dengan Pemerintah Jawa Barat. Dalam penelitiannya itu, ia  melakukan simulasi menggunakan numerik sistem grid dengan membuat beberapa skenario pengambilan air tanah pada tahun 2013.

Prof. Lambok juga menjelaskan mengenai kemungkinan terjadinya air payau di suatu daerah. “Jangan terlalu cepat mengatakan air asin itu air laut, pikirkan dahulu, bisa jadi itu ada mekanisme lain,” ujar Prof. Lambok.

Sebagai contohnya adalah terdapatnya air payau di daerah Gedebage. Ia mengatakan, berdasarkan pengeboran yang dilakukan pada kedalaman 200 meter, terdapat kandungan klorin (Cl) sebesar 1163 mg/L yang mengindikasikan air payau. Dari data tersebut kemudian menghasilkan hipotesis terbentuknya air payau di daerah Bandung karena air geothermal yang berasal dari Wayang Windu mengalir ke Gedebage. “Karena lokasi Gedebage terletak di antara daerah geothermal Wayang Windu dan Maribaya,” ujarnya.

Pengambilan air tanah juga dapat menyebabkan land subsidence, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Lambok dan Agus pada 2007 menyatakan bahwa kontribusi pengambilan air tanah terhadap land subsidence maksimal di Jakarta 17,5%. 

Selain itu dilakukan kembali penelitian faktor-faktor terjadinya land subsidence khususnya di daerah Rawa Buaya, ditemukan beberapa faktor penyebab, di antaranya yaitu kompaksi alamiah sebesar 65,7%, pengambilan air tanah 18,92%, faktor lainnya (kontruksi sipil, hidrokompaksi, lapisan gambut, tanah urugan, dan tektonik) sebesar 15,51%. 

Di akhir webinarnya, Prof. Lambok menjelaskan mengenai sumber daya air dengan kasus daerah Samosir. Menurutnya, dalam pencarian sumber daya air harus diketahui dahulu geologinya baik itu air permukaan atau air tanah.

Rekaman webinar geologi mengenai fenomena hidrogeologis ini dapat diakses pada laman https://www.youtube.com/watch?v=E8hSDNobGnA.

Reporter: Diah Rachmawati (Teknik Industri, 2016)