Wirausaha Ya, Korupsi Tidak!

Oleh kristiono

Editor kristiono

BANDUNG, itb.ac.id - Bertepatan dengan perayaan Dies Emas ITB, SBM ITB bekerjasama dengan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) menyelenggarakan seminar "Business Yes, Corruption NO", di Aula Barat ITB, Sabtu (21/02/09). Seminar yang kental dengan nuansa pemberantasan korupsi ini menghadirkan Wakil Ketua KPK 2003-2007 Amien Sunaryadi, Ketua Komisi Yudisial M Busyro Muqoddas sebagai panelis dan Erry Riyana Hardjapamekas sebagai pembicara kunci. Amien, Busyro dan Erry masing-masing adalah penerima anugerah BHACA, dikenal berkomitmen tinggi, dan berkontribusi dalam upaya memberantas korupsi.  
Dimoderatori langsung oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Dr. Widyo Nugroho, selama dua puluh menit, masing-masing panelis mempresentasikan pandangan mengenai budaya korupsi dan wirausaha. Panelis pertama, Busyro Muqqodas, mengawali paparannya dengan mewanti moderator agar tak segan menegur jika dirinya telah melewati alokasi waktu yang diberikan. "Salah satu sebab maraknya budaya korupsi ialah keenganan kita menegur orang lain yang berbuat salah", ujar Busyro.

Busyro memandang perjalanan kewirausahaan di Indonesia dalam dua sisi. Sisi pertama adalah budaya wirausaha yang ideal. Budaya ini tumbuh dalam organisasi Serikat Dagang Islam di era perjuangan. Dalam organisasi tersebut, pengusaha pribumi mempraktekan bisnis dengan nila-nilai kejujuran dan rasionalitas. Etnis Minang, Madura, Solo, Bugis, dll yang tergabung dalam organisasi dagang tersebut terkenal dengan etos kerja keras, keuletan dan kejujuran. Dari kalangan ini lahir pahlawan seperti KH Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, dan HOS Cokroaminoto.

Di sisi lain, terdapat praktek relasi bisnis antara pengusaha dan kalangan birokrat. Relasi ini mencolok di era orde baru. Pengusaha dan pejabat berkorelasi membangun bisnis yang memiliki posisi tawar lebih dalam menguasai sumberdaya dan dana negara, pintu masuk pasar, kredit, serta berbagai konsesi bisnis. Hubungan gelap penguasa-pengusaha ini dipuncaki dengan letupan megakorupsi BLBI yang merugikan negara 670 triliun rupiah.
Terdapat perbedaan besar antara budaya kewirausahaan dalam kasus pertama dan kedua. Dalam kasus pertama, konsep kewirausahaan yang dibangun secara mandiri dengan jeringan bisnis otonom memberi sumbangan positif bagi bangsa dan negara. Sementara pada kasus kedua justru menderitakan rakyat.

Masa muda, masa tua, jangan korupsi!

Amien Sunaryadi membeberkan hasil kajiannya terhadap fenomena korupsi di Indonesia. Amien mulai mengendus fenomena korupsi sudah terjadi sejak NKRI masih relatif muda. Saat itu, korupsi sudah mulai dilakukan oleh para pejabat negara setingkat menteri. Korupsi tidak hanya terjadi di lembaga kementrian, tetapi juga BUMN dan Bank Sentral. Hal yang menarik, kata Amien, modus operandi korupsi sejak dulu hingga era reformasi relatif sama dan berlangsung di lembaga yang sama. Benang merah dari fenomena ini ialah bangsa Indonesia, dalam upayanya memberantas korupsi, telah berulangkali terjerembab dalam lubang yang sama. Namun demikian, meningkatnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2008 sebanyak 0,3 poin menjadi 2,6 menunjukkan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini mulai menunjukkan hasil.

Dalam penelusurannya, Amien menemukan sisi kesamaan diantara pelaku korupsi, baik yang berprofesi pengusaha maupun birokrat. Semua para tersangka kasus korupsi berpendidikan sarjana atau lebih tinggi. Bahkan mahasiswa yang dahulu vokal soal gerakan memberantas korupsi, ketika menjadi pejabat justru terjerumus dalam perbuatan nista tersebut. Dengan kata lain, mahasiswa kini merupakan tersangka korupsi potensial di masa depan. Oleh sebab itu, Amien menegaskan ada tiga pilihan hidup bagi para mahasiswa: menjadi pahlawan bangsa, menjadi orang biasa, atau menjadi koruptor musuh negara.

Penerima Bung Hatta Anti Corruption Award 2008, Amien Sunaryadi, kini berkarier di Bank Dunia, berpesan "Masa Muda, Masa Tua, Jangan Korupsi!"