Workshop Dokumentasi Ilmiah Gempa Tsunami NAD 2004
Oleh
Editor
Pada acara "Launching Pusat Penginderaan Jauh, Institut Teknologi Bandung" Senin (28/11) lalu, juga digelar "Workshop Dokumentasi Ilmiah Gempa Tsunami NAD 2004". Kegiatan workshop yang di adakan oleh Center for Remote Sensing (CRS) ITB ini memang menekankan pada laporan ilmiah beberapa pakar remote sensing di Nanggroe Aceh Darussalam pasca Tsunami 26 Desember 2004.
Workshop dibagi dalam 2 sesi. Satu jam pertama menengahkan 4 pembicara yang lebih banyak melaporkan analisa data kondisi geografis NAD pasca tsunami. Bapak Bambang Trisakti salah satunya, dengan studi kasus kawasan Lhoknga, Banda Aceh. Beliau mempresentasikan optimalisasi pengolahan data DEM (kondisi geografis) dengan Aster.
Selain kondisi geografis, juga dilaporkan dalam workshop ini inventarisasi lahan dan tumbuhan serta habitat biologi lainnya yang masih dapat bertahan untuk dikelola lebih lanjut. Kondisi lahan persawahan contohnya, dimana areal sawah yang terkena tsunami mencapai 8% total areal sawah di propinsi NAD. Tsunami memang telah merusak lahan-lahan persawahan. perkebunan dan perternakan. Dampak berkelanjutan untuk areal-areal tersebut karena kesuburan tanah dan kondisi air tanah memang ikut rusak.
Pembahasan lain mengenai hutan aceh. Hutan aceh yang memang banyak berada di kawasan konservasi dan hutan lindung, membutuhkan inventarisasi baru berkenaan dengan kebutuhan kayu yang mendesak dalam rangka rehabilitasi Aceh. Perhatian khusus ditekankan untuk permasalahan hutan Aceh, berhubung ramainya kasus ilegal logging yang terungkap akhir-akhir ini. Topik ini diangkat oleh perwakilan dari Universitas Syiah Kuala dan Departemen Kehutanan.
Dalam sesi kedua, Ir. Herry Andreas melaporkan penelitiannya di Aceh tentang pergerakan lempeng/tanah di kawasan gempa tsunami NAD. Pergeseran yang sangat dipengaruhi kondisi geologi lempeng ini, menyebabkan adanya titik-titik Datum, atau posisi-posisi geografis yang bergeser. Dengan perhitungan geoseismic tertentu, pergeseran tersebut dapat diperhitungkan. Berdasarkan analisanya di lapangan, pergeseran datum-datum tersebut hingga mencapai angka 2.0 meter. Selain itu dapat pula di perkirakan besarnya stress atau tegangan yang terlepas dari sisa-sisa gempa NAD dan Nias. hal ini memungkinkan munculnya wilayah-wilayah gempa baru. Salah satunya yang perlu diwaspadai adalah kawasan Mentawai, Sumatra Barat.
Kewaspadaan menjadi sangat penting jika berbicara mengenai bencana. Apalagi bagi Indonesia, dimana kawasannya memang sangat rawan dengan berbagai bencana. Secara geologi dan geografis, Indonesia memiliki banyak ruang bagi terjadinya bencana. Namun, bangsa ini seharusnya bisa menyikapi dengan meningkatkan sense-nya akan ancaman-ancaman bencana alam disekitarnya. Demikian pula yang disampiakan oleh Ibu Teti A Argo. Dengan latar belakang dari Teknik Planologi ITB, beliau memaparkan kondisi masyarakat Aceh secara sosio-psikologis memang tidak memiliki kewaspadaan yang mendasar dengan lokasi tinggalnya. Terlihat dari tidak adanya persiapan "jaga-jaga" akan bencana disekitarnya. Seperti asuransi dan jaminan ekonomi lainnya. Memang Aceh adalah daerah yang jarang mengalami bencana. Namun disini terlihat kondisi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan wirausaha dan pendidikan lainnya, membuat pasca tsunami menjadi PR yang sangat panjang untuk mengembalikan ke kondisi semula.
Ada beberapa faktor yang menjadi sebab kekurangwaspadaan tersebut. Salah satunya adalah faktor gaya hidup masyarakat, dimana merusak tatanan kondisi dasar masyarakat. Ketidaksiapan menghadapi bencana, kekurangwaspadaan ini masih akan terus menjadi faktor penghambat untuk memulihkan Aceh. Bencana sebagai faktor eksternal yang besar, memang menyebabkan secara sosial ekonomi kehidupan masyrakat jatuh dan tertinggal dari daerah-daerah lainnya. Yang menjadi tugas bersama saat ini adalah bagaimana mempercepat rehabilitasi, terutama mengejar ketinggalan tersebut. Ini sangat dipengaruhi kondisi sosial psikologi masyarakat pasca tsunami ini.
Workshopyang berlangsung dalam dua sesi tersebut, berakhir sekitar pukul 17.00 WIB, sekaligus menutup acara Launching yang telah berlangsung sejak pagi. Dokumentasi-dokumentasi yang telah diperoleh dan dipaparkan pada hari tersebut hendaknya bisa menjadi batu loncatan untuk memulai membangun Aceh kembali. Begitu pula hal kewaspadaan,tidak boleh dilupakan. Sudah waktunya kita memberi perhatian lebih pada pendidikan masyarakat tentang ancaman bencana disekitarnya.