Yang Seringkali Terlupakan
Oleh
Editor
Tutur katanya terbata-bata saat itb.ac.id mewawancarainya pada sebuah kesempatan. Kala itu ia menjawab pertanyaan demi pertanyaan sambil melayani para pembelinya yang tak sebanyak biasanya. “Maklum, ini mah lagi libur, jadi yang beli tidak seramai biasanya.”
Endin, itulah namanya. Singkat, mungkin baginya nama tidak terlalu berarti. Apalagi tanggal lahir dan usia. Saat ditanya tentang usianya, ia berat mencoba untuk mengingat dan menjawab, “60 tahun-an, Neng.” Ia adalah seorang penjual gorengan yang akan selalu Anda temui saat kegelapan sudah meliputi kampus tercinta kita ini. Gerobak sederhananya diam di gerbang depan ITB, Jalan Ganesha. Dengan 250 perak, Anda dapat menikmati sebiji gorengan yang ia jual. Empek-empek, pisang goreng, tahu isi, ubi goreng, dan lain-lain. Makanan-makanan sederhana ini menjadi teman para civitas kampus yang masih beraktivitas di malam hari.
Pak Endin mulai berjualan di Jalan Ganesha sejak tahun 90-an. Seharinya ia dapat menghabiskan 150 ribu rupiah sebagai modal berjualan pada hari itu. Hasilnya? “Kadang sehari mah dapat 100 ribu, kalau ramai bisa sampai 200 ribu. Untungnya mah yang ngitung si Ibu, saya mah cuma jualan saja. Yang ngatur-ngatur modal mah ibunya.” Jawabnya dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Ia tinggal di Sukajadi, tiga dari empat orang anaknya kini sudah berkeluarga. “Tinggal satu lagi lulusan STM, tapi sekarang mah sudah kerja.” Namun demikian, bukan berarti beban hidupnya berkurang. “Anak mah sudah tidak usah diurusin, sekarang ganti cucu.” Ditanya bagaimana cara menghidupi keluarga besarnya, ia menjawab bahwa istrinya juga berjualan makanan di salah satu kios di Jalan Gelap Nyawang. Dari kedua usaha inilah, keluarga besar, termasuk ketujuh cucunya dapat hidup.
Pak Endin yang hanya lulusan SD ini mengaku selama ini ia tidak pernah menemui kesulitan dalam berusaha di sekitar kampus kita ini. Pada saat pedagang yang lain dipindahkan ke Jalan Gelap Nyawang, ia masih dapat berjualan di Jalan Ganesha. “Saya sudah akrab sama satpam-satpamnya. Satpamnya suka bilang, ‘kalau jualan di bawah (Jalan Gelap Nyawang, red) tidak laku, gerobaknya dorong ke atas saja’.”
Nampak bahwa ia adalah pribadi yang sangat pasrah dengan kondisinya. Ketika ditanya pendapatnya mengenai burung Kowak yang acapkali dihujat olah para civitas kampus, ia dengan polos mengatakan bahwa ia tidak merasa terganggu dengan kehadiran burung-burung itu. “Tapi kotorannya memang lebih-lebih dari kotoran kuda,” komentarnya. Juga ketika ditanya tentang harapannya untuk ITB, ia hanya terdiam, tangannya terus memompa-mompa petromaksnya, dengan lugu ia menjawab bahwa ia tidak menemukan kata-kata yang ingin ia sampaikan.
Pak Endin hanyalah satu dari sekian banyak pribadi yang jarang kita tengok, yang seringkali terlupakan. Namun tanpa sadar kehadirannya seakan menjadi salah satu komponen dalam suatu sistem, sebab tanpa Pak Endin-Pak Endin macamnya, para satpam, para penghuni laboratorium, para penghuni himpunan, malam-malamnya tentu akan hampa tanpa ditemani gorengannya. “Ada, Neng, yang alumni, datang ke sini jam 2 malam, baru dari Jakarta, langsung ke sini. Dulunya langganan, Bapak diajak ngobrol banyak, terus dikasi uang, ‘ini, buat rokok, Pak’, katanya.” Matanya terlihat berkaca-kaca mengenang peristiwa itu.