Menggali Potensi Talas Pratama Khas Sumedang

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

BANDUNG, itb.ac.id—Sebagai negara dengan julukan “megabiodiversity”, Indonesia memiliki beragam jenis pangan lokal, salah satunya talas. Talas (Colocasia esculenta) merupakan penghasil karbohidrat (23,78%) sehingga dapat diolah sebagai pengganti beras yang juga kaya akan protein (1,9%). Selain itu, tanaman umbi-umbian tersebut juga tergolong mudah dibudidayakan, misalnya di Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang.

Salah satu desa di kecamatan tersebut, Desa Tanjunghurip, menjadikan talas Pratama sebagai komoditas pertanian hortikultura unggulan. Talas Pratama merupakan varietas hasil silang antara talas semir asal Sumedang dan talas sutera asal Thailand sehingga memiliki produktivitas yang menguntungkan dan lebih resisten terhadap hama. Awalnya, talas tersebut dikembangkan di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Bogor oleh Made Sri Prana, Tatang Kuswara, dan Maria Imelda yang nama-namanya diabadikan sebagai singkatan Pratama.

Di Kabupaten Sumedang, talas Pratama memiliki dua varietas yaitu Sumedang Simpati 1 (SS 1) dan Sumedang Simpati 2 (SS 2) yang karakteristik fisiknya cukup berbeda. Pohon varietas SS 1 berwarna kekuningan; memiliki umbi yang berbentuk lonjong, panjang, dan berwarna putih mulus; dan anakannya banyak. Sementara itu, anakan SS 2 jumlahnya relatif sedikit, berwarna hijau, dan jika sudah dewasa, akan berubah menjadi keunguan. Umbinya pun berwarna putih dengan serat-serat ungu.

Sayangnya, meskipun talas Pratama SS 1 dan SS 2 telah terdaftar sebagai varietas lokal di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia, potensi keduanya belum dikembangkan dengan optimal. Pengolahan produk turunan dari umbinya juga masih sebatas dijual utuh saja dan dikonsumsi dengan cara direbus. Masyarakat Desa Tanjunghurip belum memiliki ilmu dan kapabilitas yang cukup untuk meningkatkan nilai jual talas Pratama.

Untuk menjawab permasalahan ini, SITH ITB menghelat program Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang berfokus pada pemberian bantuan kepada para petani di Desa Tanjunghurip. Dalam kegiatan ini, mereka melakukan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan rantai pasok dan pemanfaatan talas Pratama untuk pengembangan berikutnya. Harapannya, PPM dapat mendukung usaha petani dan masyarakat untuk memasarkan komoditas unggulan ini, bahkan dioptimalkan sebagai daya tarik desa agrowisata.

Menurut Dr. Wawan Gunawan, Ketua Tim PPM SITH ITB di Desa Tanjunghurip, pembudidayaan tanaman talas Pratama membutuhkan waktu 7—8 bulan dengan pemeliharaan yang cukup mudah dilakukan. “Biasanya, petani di sana menanam talas sekitar Januari hingga Februari karena curah hujannya tinggi, kemudian dipanen pada Juli hingga Agustus,” jelasnya.

Meskipun tergolong varietas talas yang baru disahkan, keberadaan talas Pratama telah mampu mendorong kemajuan perekonomian petani di desa tersebut. Ukurannya yang besar dengan rasa yang gurih dan empuk membuat umbi talas ini dapat dihargai di atas rata-rata, yaitu Rp10.000-Rp15.000 per kilogram untuk grade A.

Nilai jual talas Pratama tentu masih dapat ditingkatkan, misalnya dengan diolah menjadi tepung, keripik, bolu, cookies, brownies, susu, atau produk minuman berasa. Melalui program PPM di Desa Tanjunghurip, SITH ITB memberikan rangkaian pengetahuan yang mendalam mengenai cara-cara pembuatan produk turunan kepada UMKM. Selama dua hari, tim menggelar forum-forum diskusi dan pelatihan terarah yang dapat membantu petani dan masyarakat untuk memaksimalkan penggunaan talas Pratama.

Pada hari pertama, tema yang diusung adalah pengembangan ekonomi melalui pengembangan Desa Tanjunghurip sebagai area agrowisata. Kemudian pada hari berikutnya, kegiatan PPM difokuskan pada pendampingan pengembangan produk turunan. “Semoga diversifikasi pemanfaatan yang kita jelaskan dapat membuka peluang talas Pratama sebagai oleh-oleh khas sehingga tujuan optimalisasi potensi desa agrowisata juga tercapai,” sebut Dr. Wawan.

Pendayagunaan talas Pratama pada pembuatan berbagai makanan dapat dijadikan upaya dalam mendorong percepatan keanekaragaman konsumsi bersumber komoditas lokal. Pada akhirnya, langkah kecil ini dapat mempromosikan potensi tanaman dan mencapai peningkatan produktivitas serta nilai konsumsi talas di Tanah Air.

*Artikel ini telah dipublikasi di Media Indonesia rubrik Rekacipta ITB, tulisan selengkapnya dapat dibaca di laman https://pengabdian.lppm.itb.ac.id

Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)


scan for download