Ahli Jelaskan Pentingnya Self-acceptance untuk Kesehatan Mental

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Dalam rangka membahas pentingnya kesehatan mental di lingkungan mahasiswa, Kementerian EPKM Kabinet ‘Akar Asa’ KM Institut Teknologi Bandung (ITB) 2020/2021 bersama Direktorat Kemahasiswaan (Ditmawa) ITB mengadakan Talkshow “Care: The Power of Self-Acceptance", Minggu (8/11/21). Talkshow dilaksanakan secara daring melalui Zoom dan Youtube channel Direktorat Kemahasiswaan ITB.

Narasumber pada talkshow ini adalah Dr. dr. Veranita Pandia, SP. KJ., M. Kes, Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dan Dra. Isriana, Psikolog, Konselor Bimbingan Konseling Ditmawa ITB.

“Memasuki dunia baru, tantangan baru di kampus, tugas-tugas menumpuk, hal-hal ini seringkali dirasa sangat berat dan bisa berdampak ke kesehatan mental. Tetapi ini bukan hal yang aneh atau jarang. Jadi, jangan ragu untuk meminta pertolongan,” ujar Prof. Reini dalam sambutannya kepada partisipan.

Kesehatan fisik dan mental saling berhubungan satu sama lain. Penyakit apapun yang diderita seseorang akan berkaitan dengan kesehatan mentalnya. Contoh, seorang penderita kanker mengalami depresi. Kesembuhannya menjadi lebih sulit dan lebih mudah untuknya memburuk akibat kondisi mentalnya yang tidak baik.

Konsep self-acceptance atau penerimaan diri diawali dengan pemahaman arti self. Self berarti pandangan, persepsi dan penilaian seseorang terhadap dirinya. Output yang diharapkan adalah kesadaran bahwa setiap orang memiliki kelebihan, kekurangan, konsep, dan nilai yang berbeda dengan orang lain.

Walaupun sekeluarga, tidak ada seorang pun yang persis sama. Manusia adalah individu yang unik dan itu perlu disadari. Apapun yang dimiliki, baik kelebihan maupun kekurangan, kemudian bisa diterima sebagai ketidaksempurnaan.

“Karena kalau kita menganggap, saya harus sempurna, tidak akan mungkin kita menerima diri kita karena tidak akan pernah kita menjadi sempurna,” ujar dr. Vera.

Ungkapan seperti “kamu harus pinter, tuh lihat si A” seringkali terdengar selama bermasyarakat. Ini menjadi tantangan dalam penerapan konsep penerimaan diri karena dapat menyebabkan terbentuknya ekspektasi di luar batas kemampuan diri seseorang.

“Kita tidak menuntut lebih dari apa yang bisa kita lakukan. Jadilah yang terbaik versi kita, tidak perlu melihat orang lain. Percayalah ketika berupaya untuk itu kita akan puas bahkan bisa jadi lebih baik dari yang ingin kita tiru,” jelas Dra. Ira.


Salah satu penanya bertanya bagaimana seorang introvert bisa aktif beroganisasi. Introvert dan extrovert adalah bentuk pengelompokkan kepribadian seseorang. Walaupun begitu, keduanya tidak seperti hitam dan putih, melainkan nuansa. Seseorang bisa sedikit abu-abu tetapi tetap masuk dalam range salah satu bentuk kerpibadian.

Sangat mungkin seorang introvert untuk nyaman sendiri dan juga nyaman serta bisa bergaul dengan teman. Perbedaan kedua kepribadian ini adalah jika ada masalah, seorang introvert cenderung ingin sendiri, sedangkan extrovert sebaliknya yaitu ingin berada dalam keramaian.

“Dalam organisasi kita bisa berperan dalam banyak hal. Pilih saja sebagai apa yang sesuai kepribadian. Tidak usah berkecil hati jika tidak seramah orang lain. Nikmati introvert itu. Tidak usah berubah menjadi extrovert,” jelas dr. Vera.

Reporter: Amalia Wahyu Utami (Teknik Fisika 2020)