ALMI Gelar Kongres Ilmuwan Muda Indonesia II: The Future Science, Responsibility, and Globalizing Eco Social Justice

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita

BANDUNG, itb.ac.id - Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) menggelar Kongres Ilmuwan Muda Indonesia (KIMI) II bertajuk “The Future Science, Responsibility, and Globalizing Eco Social Justice”, di Design Centre, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), Sabtu (9/12/2023). KIMI bertujuan menerima masukan kinerja ALMI ke depan dari para peserta kongres.

Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso, M.S., yang menjadi keynote speaker KIMI II, menyampaikan gagasannya mengenai "Climate Crisis: Vulnerability of Food and Health Systems". Beliau membahas pengaruh krisis iklim bagi sektor pertanian dan energi, hingga perlunya transformative research oleh ilmuwan. Science-based policy bidang pangan, energi, dan lingkungan diharapkan membantu zero emission pada tahun 2060.

Beliau mengatakan, Indonesia perlu mengembangkan strategi Energi Baru Terbarukan (EBT), serta teknologi yang lebih ramah lingkungan, misalnya dalam mengisi daya ulang baterai.

Di sisi lain, pertanian merupakan sektor yang rentan terhadap perubahan iklim karena selain penyuplai makan, juga menjadi penyumbang terhadap perubahan iklim. Tantangannya adalah bagaimana menyelaraskan alam dan transisi energi. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kesehatan masyarakat, penyebaran penyakit karena disebarkan oleh virus maupun hewan, tingkat sanitasi dan ketersediaan air besih, serta suplai makanan.

Beliau mengatakan, Indonesia saat ini menempati negara dengan emisis CO2 tertinggi nomor 7 dunia setelah Brasil sehingga program deforestrasi perlu ditekan. Beliau pun menekankan agar kemajuan ekonomi dapat dicapai dengan tetap menjaga lingkungan.

Adapun pada panel session terdapat empat narasumber, yakni Ketua ALMI dr. Gunadi, Ph.D, Sp.BA dari Fakultas Kedokteran UGM, Dr. Herlambang Perdana Wiratraman, S.H., M.A. selaku Sekretaris Jenderal ALMI dari Fakultas Hukum UGM, Dr. Anggia Prasetyoputri dari BRIN, dan Lilis Mulyani, Ph.D., dari BRIN.

Dr. Lilis mengatakan bahwa perubahan iklim yang ekstrem membebani warga miskin lima kali lipat. Sumber daya air semakin terbatas sehingga panen menurun. Di sisi lain, berkembangnya korporasi yang menguasi lahan pertanian mengancam para petani lokal. Tingkat kesuburan tanah pun semakin menurun. Lahan yang berubah menjadi perumahan maupun industri juga menjadi permasalah tersendiri di sektor pertanian dan pangan. Hal ini berdampak pula pada kesehatan.

Adapun dr. Gunadi menyampaikan bahwa WHO telah menyatakan pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan, seperti malnutrisi hingga stunting yang dimulai dari nutrisi saat ibu hamil. Pengaruh suplai makanan, termasuk nutrisi yang terasup, salah satunya dapat mengakibatkan lemahnya IQ. Selain itu, Pandemi SARS-COV-2 pun disebabkan perubahan iklim dan mengakibatkan perubahan virus dan varian virus. Berbagai hal tersebut pada akhirnya berdampak pada perubahan sistem kesehatan yang menjadi responsif, bukan adaptif, karena ketidaksiapan menghadapi pandemi tersebut. Oleh karena itu, perlu perubahan paradigma sistem kesehatan, tidak lagi responsif tetapi adaptif.

Dr. Anggia menambahkan, krisis iklim berpengaruh pada pangan juga pada mata pencaharian petani. Perubahan iklim pun memengaruhi sifat virus, kenaikan suhu secara global yang berdampak pada kesehatan masyarakat, transmisi penyakit semakin cepat dan sering terjadi. Perubahan iklim akibat pembukaan lahan baru pun menggangu habitat satwa liar yang akhirnya mencari tempat tinggal baru seperti permukiman manusia.

Sementara itu, Dr. Herlambang menjelaskan kaitan keadilan sosial dalam krisis iklim. Menurutnya, tidak akan ada keadilan iklim tanpa hak asasi manusia. Beliau mencontohkan kisah Effendi Buhing, Ketua Masyarakat Adat Laman Kinipan, Kalimantan Tengah, yang ditangkap karena mempertahankan ekosistem hutan. Kisah perjuangan tersebut berkaitan dengan yang dimaknakan sebagai keadilan untuk anak cucu mereka atau intergenerational justice.

Panel ditutup dengan sejumlah catatan akhir, pertama, pentingnya kerja sama atau kolaborasi antara ilmuwan, jurnalis, komunitas, organisasi non pemerintah, seniman, dan sebagainya, termasuk upaya bersama membentengi kebebasan akademik/ilmuwan. Kedua, perlunya komunikasi sains, tantangan membumikan sains ke kesadaran politik yang luas di tengah masyarakatnya, baik melalui seni, film, dan berbagai kegiatan lainnya, atau bahkan dalam mengembangkan interactive learning di pendidikan.

Ketiga, transformasi tidak hanya riset, melainkan pula pembelajaran. Transformative learning melahirkan inisiasi mengubah, atau menggerakkan. Keempat, transformasi dimungkinkan dengan pesan yang lebih populer mengenai keadilan iklim, seperti membuat visual, infografis, artikel populer, maupun platform media digital populer.

Editor: M. Naufal Hafizh


scan for download