Analisa Pakar Tsunami ITB Mengenai Gempa dan Tsunami di Sulawesi Tengah

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana



BANDUNG, itb.ac.id -- Gempa bumi magnitudo 7,4 disertai tsunami yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah dan sekitarnya pada 28 September lalu, telah mengakibatkan bangunan rusak dan menelan ribuan korban jiwa maupun luka-luka. Pakar Tsunami Dr. Eng. Hamzah Latief dari Kelompok Keahlian Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB menjelaskan mengapa gempa bumi dan tsunami tersebut terjadi.

Menurutnya, gempa yang terjadi di Palu merupakan pergerakan dari sesar Palu Koro. Mekanisme gempa yang terjadi di sana, tambahnya, dibangkitkan seperti strike-slip namun ada trusting di ujung bagian utara sesar. Trusting ini akan menyebabkan deformasi di bawah laut sehingga terjadi pergerakan tsunami yang mendekati perairan pesisir Donggala.

"Namun demikian, pada saat terjadi gempa itu mengakibatkan adanya goncangan dimana sedimen-sedimen yang labil berada di muara sungai akan tergelincir turun ke bawah dan menimbulkan tsunami lokal," katanya.

Hal ini dapat terlihat dari rekaman video yang beredar. Sebuah video yang viral menunjukkan air yang bergejolak dan keruh diambil di atas sebuah kapal. Berdasarkan hipotesanya, fenomena itu menandakan adanya longsoran sedimen di bawah laut. Dan kedua, video dari atas bangunan yang terlihat pemandangan air laut sempat surut dan lebih putih, kemudian terjadi gelombang tinggi tsunami. Hal itu menunjukkan air dari lepas pantai.

Aktivitas Sesar Palu Koro

Sesar Palu Koro dikatakan sangat aktif dengan pergerakan 44 milimeter per tahun. Banyak studi atau penelitian tentang sesar tersebut telah menjadi disertasi. ITB sendiri memulai fokus penelitian tentang sesar Palu Koro pada 2012, hasilnya telah disampaikan kepada Pemerintah Daerah setempat, BNPB dan staf ahli kepresidenan.

"Kita memang sangat konsen dengan Palu. Hal ini kita lakukan karena potensi (tsunami) besar sekali, hasil simulasi kita lakukan memperlihatkan bahwa daerah yang tergenang ini sudah teridentifikasi dari studi kita. Di mana tinggi tsunami itu berkisar paling tidak sampai 2-3 di atas daratan," katanya.

Selain itu hasil dari penelitian juga telah dilakukan follow up dengan melakukan training terhadap Pemda dan beberapa peneliti lokal di Universitas Tadulako untuk sama-sama mempelajari dan sosialisasikan mengenai hal tersebut kata Dr. Hamzah. 

Dia juga menilai, karena keterbatasan teknologi pendeteksi tsunami, maka perlu pengetahuan lokal mengenai karakteristik tsunami yang ada di Indonesia sehingga tidak hanya mengandalkan teknologi, tapi mengandalkan pengetahuan kita terhadap lokasi tersebut. "Dari studi saya di sana masyarakat itu mengenal punya bahasa lokal mengenai tsunami, seperti bahasa Mamuju dan Bugis. Mereka tahu tapi mungkin tidak terlalu diperhatikan dari generasi sekarang, katanya.