Bagaimana Kondisi Logam Berat di Indonesia?

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Logam berat banyak digunakan dalam berbagai aktivitas manusia, misalnya dalam industri logam, industri pertanian, juga sebagai aditif bahan bakar. Jika tidak dikelola dengan tepat, logam berat berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan kehidupan manusia.

Pada Kamis (25/2/2021), Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah (KK PUL) Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (FTSL ITB) mengadakan webinar bertajuk “Pengelolaan Logam Berat” dalam rangkaian acara “Webinar Series KK PUL dalam Upaya Meningkatkan Hubungan Pentahelix (ABCGM)”. Webinar Kamis sore ini diisi oleh tiga pembicara, yaitu Dr. Mont. Kania Dewi, S.T., M.T., Sukandar, S.Si., M.T., Ph.D., dan Ir. Yuyun Ismawati Drwiega, M.Sc., ECM, dipandu oleh moderator Dinda Annisa Nurdiani, S.T., M.T.

Lepasan Merkuri dari Berbagai Sumber di Indonesia

Dosen Teknik Lingkungan ITB Kania Dewi selaku pembicara pertama membuka paparan dengan informasi bahwa tahun ini Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi Konvensi Minamata, sebuah fakta internasional yang didesain untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari lepasan merkuri.

Ia menjelaskan, sumber merkuri terdapat banyak dan dekat sekali dengan lingkungan sehari-hari. Padahal, merkuri bersifat neurotoksik, yakni berbahaya bagi sistem saraf pusat. Lebih dari itu, merkuri juga berbahaya bagi otak dan ginjal. Nahasnya, merkuri bersifat persisten atau terus menerus berada di lingkungan dan dapat meracuni manusia melalui hirupan udara, juga melalui makanan yang mengandung akumulasi merkuri seperti ikan dan padi.

Kania menjelaskan, secara garis besar, terdapat dua sumber merkuri: alamiah dan antropogenik. Merkuri yang berasal dari alam tidak dapat dicegah. Contohnya adalah merkuri yang berasal dari letusan gunung berapi. Selain itu, terdapat pula merkuri dari sumber antropogenik atau dari kegiatan manusia.

Merkuri antropogenik terbagi lagi menjadi dua jenis, yaitu merkuri yang digunakan tanpa sengaja dan yang digunakan dengan sengaja. Contoh jenis pertama adalah pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Batu bara yang dibakar itulah yang mengemisikan merkuri. Sementara itu, contoh jenis kedua adalah pertambangan emas skala kecil (PESK). “Berdasarkan hasil inventarisasi global, sektor penyumbang merkuri terbesar adalah PESK,” ucapnya. Sayangnya, PESK masih menjamur di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Pencemaran Logam Berat di Tanah Akibat Sektor Informal

Sukandar melanjutkan dengan paparan bertajuk “Pencemaran Tanah oleh Logam Akibat Kegiatan Informal”. Ia mengatakan, salah satu sumber pencemar adalah logam. Oleh sektor informal, zat pencemar logam yang terkandung sering digunakan kembali karena masih dianggap ekonomis. Padahal, zat-zat seperti slag logam dan aki bekas berpotensi besar mencemari lingkungan dalam penggunaannya, apalagi jika pengelolaannya tidak tepat.

Sukandar mengangkat dua contoh kasus, yaitu kasus di Tegal dan Jombang. Di Tegal, penduduk desanya telah bekerja dengan berbagai rongsokan logam daur ulang selama lebih dari setengah abad. Sayangnya, proses pembuangan kerak dan abu tidak tepat sehingga asap pembakaran dan bau menyengat menyebar menyelimuti desa. Terdeteksi konsentrasi timbal yang tinggi pada permukiman penduduk. Padahal, limbah timbal bersifat racun dan dapat terakumulasi dalam tubuh. Sementara itu, di Jombang, kontaminan yang tersebar adalah limbah B3 berupa slog dan dross dari kegiatan peleburan logam. Sama seperti di Tegal, bau limbah juga menyengat. Limbah B3 juga bersifat reaktif, korosif, dan beracun. Menurut Sukandar dua kasus tersebut hanyalah kasus kecil. Masih banyak kasus serupa, bahkan yang lebih besar lagi, yang terjadi di Indonesia.

Merkuri dalam Perspektif LSM: Masalah Lokal, Tantangan Global

Paparan terakhir dibawakan oleh Yuyun Ismawati selaku senior advisor di Nexus3 Foundation, sebuah lembaga swadaya masyarakat. Yuyun banyak bercerita mengenai Tragedi Minamata. Pada tragedi tersebut, penggunaan merkuri hanyalah sebagai katalis, tetapi konsentrasinya begitu besar saat air limbahnya dibuang melalui kanal.

Menurutnya, Indonesia dapat belajar banyak dari Tragedi Minamata. Apalagi, kerugian yang diderita akibat kontaminasi merkuri sangat besar. Kehilangan ekonomi bisa mencapai 1 triliun rupiah, sementara keracunan bisa mengenai hingga 6,5 juta penambang global.

Reporter: Zahra Annisa Fitri (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)