Bangun Kerjasama antar Daerah Indonesia
Oleh Nofri Andis
Editor Nofri Andis
BANDUNG, itb.ac.id - Sudah lebih dari satu dekade Indonesia memberlakukan sistem otonomi daerah. Teorinya, desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong pemerintah lokal agar dapat lebih tanggap kepada kebutuhan publik, bukan untuk melemahkan peran pemerintah pusat.
Negara berkembang, biasanya memicu pertumbuhan daerahnya dengan memberlakukan desentralisasi. Namun,ternyata desentralisasi bukanlah obat mujarab bagi semua permasalahan pembangunan daerah. Justru, sistem ini berisiko dapat menciptakan instabilitas ekonomi dan kesatuan nasional.
Hal inilah yang menjadi bahan orasi ilmiah Prof. Tommy Firman, Guru Besar Kelompok Keilmuan Perencanaan Wilayah dan Kedesaan ITB, pada acara peringatan dies ITB ke 52, di Aula Barat, Rabu (02/03/11). Beliau memaparkan "Kerjasama Antar Wilayah" sebagai penunjang kebijakan desentralisasi dan otonomi di Indonesia.
Desentralisasi seharusnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota. Namun, pada kenyataannya hal tersebut ternyata tidak menjadi jaminan. Tommy memaparkan bahwa banyak juga daerah yang tidak banyak beranjak dari kondisi pra-desentralisasi.
"Pemekaran daerah cenderung digunakan untuk tujuan politis dan keuntungan finansial oleh berbagai pihak atas nama 'aspirasi lokal'," tambah Tommy.
Lebih lanjut, desentralisasi dan otonomi memungkinkan suatu wilayah untuk mengelola sumber daya yang mereka miliki. Akibatnya, wilayah yang memiliki sumber daya alam melimpah, akan seperti mendapat durian runtuh.
"Fenomena lain yang mungkin muncul adalah egosentrism daerah," kata Tommy.
Egosentrism wilayah mengacu pada kecenderungan suatu wilayah mementingakan wilayah sendiri. Lebih lagi, daerah tersebut mulai mengabaikan kebutuhan dan kepentingan daerah tetangga.
"Padahal, sebenarnya antar satu daerah dan daerah lain saling bergantung," jelas Tommy.
Misalnya, kota Bandung tidak memiliki lahan khusus sebagai tempat pembuangan sampah akhir. Pemerintah kota Bandung harus bekerjasama dengan pemerintah kabupaten Bandung mengenai persoalan sampah tersebut.
Akibatnya, kata Tommy, egosentrism daerah terus tumbuh dan bisa mengakibatkan terjadinya fragmentasi spasial. Keadaan ini menyebabkan kaburnya hubungan antar daerah.
Karena itu, menurut Tommy, untuk mengatasi dampak ini, antar wilayah harus bisa melakukan kerjasama. Tommy mencontohkan dua wilayah metropolitan di Indonesia yang terbilang sukses menjalankan program ini, Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) dan Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul).
Jabodetabek,inisiai kerjasama tersebut lahir dari pemerintah pusat. Pada 1976 DKI Jakarta dan Provinsi Jawa BArat membentuk Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) sebagai wadah komunikasi wilayah yang terlibat. Kemudian pada UU 29/2007 pemerintah pusat juga mengamanatkan pengelolaan bersama Jabodetabek.
Tidak sedikit kerjasama yang diperlukan di Jabodetabek. Kerjasama pun difokuskan pada hal-hal yang bersifat yurisdiksi seperti sistem transportasi, pengelolaan Daerah Aliran Sungai, pengembangan tata ruang wilayah, dan pengelolaan limbah.
Berbeda dengan Jabodetabek yang inisiasi berasal dari pemerintah pusat, Kertamantul mengambil langkah inisiatif secara bersama pada 2001 lalu. Nyatanya, kerjasama ini terus mendorong pertumbuhan wilayah yang terlibat dan mampu mengikis keegosentrisman.
Hal inilah yang menjadi bahan orasi ilmiah Prof. Tommy Firman, Guru Besar Kelompok Keilmuan Perencanaan Wilayah dan Kedesaan ITB, pada acara peringatan dies ITB ke 52, di Aula Barat, Rabu (02/03/11). Beliau memaparkan "Kerjasama Antar Wilayah" sebagai penunjang kebijakan desentralisasi dan otonomi di Indonesia.
Desentralisasi seharusnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota. Namun, pada kenyataannya hal tersebut ternyata tidak menjadi jaminan. Tommy memaparkan bahwa banyak juga daerah yang tidak banyak beranjak dari kondisi pra-desentralisasi.
"Pemekaran daerah cenderung digunakan untuk tujuan politis dan keuntungan finansial oleh berbagai pihak atas nama 'aspirasi lokal'," tambah Tommy.
Lebih lanjut, desentralisasi dan otonomi memungkinkan suatu wilayah untuk mengelola sumber daya yang mereka miliki. Akibatnya, wilayah yang memiliki sumber daya alam melimpah, akan seperti mendapat durian runtuh.
"Fenomena lain yang mungkin muncul adalah egosentrism daerah," kata Tommy.
Egosentrism wilayah mengacu pada kecenderungan suatu wilayah mementingakan wilayah sendiri. Lebih lagi, daerah tersebut mulai mengabaikan kebutuhan dan kepentingan daerah tetangga.
"Padahal, sebenarnya antar satu daerah dan daerah lain saling bergantung," jelas Tommy.
Misalnya, kota Bandung tidak memiliki lahan khusus sebagai tempat pembuangan sampah akhir. Pemerintah kota Bandung harus bekerjasama dengan pemerintah kabupaten Bandung mengenai persoalan sampah tersebut.
Akibatnya, kata Tommy, egosentrism daerah terus tumbuh dan bisa mengakibatkan terjadinya fragmentasi spasial. Keadaan ini menyebabkan kaburnya hubungan antar daerah.
Karena itu, menurut Tommy, untuk mengatasi dampak ini, antar wilayah harus bisa melakukan kerjasama. Tommy mencontohkan dua wilayah metropolitan di Indonesia yang terbilang sukses menjalankan program ini, Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) dan Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul).
Jabodetabek,inisiai kerjasama tersebut lahir dari pemerintah pusat. Pada 1976 DKI Jakarta dan Provinsi Jawa BArat membentuk Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) sebagai wadah komunikasi wilayah yang terlibat. Kemudian pada UU 29/2007 pemerintah pusat juga mengamanatkan pengelolaan bersama Jabodetabek.
Tidak sedikit kerjasama yang diperlukan di Jabodetabek. Kerjasama pun difokuskan pada hal-hal yang bersifat yurisdiksi seperti sistem transportasi, pengelolaan Daerah Aliran Sungai, pengembangan tata ruang wilayah, dan pengelolaan limbah.
Berbeda dengan Jabodetabek yang inisiasi berasal dari pemerintah pusat, Kertamantul mengambil langkah inisiatif secara bersama pada 2001 lalu. Nyatanya, kerjasama ini terus mendorong pertumbuhan wilayah yang terlibat dan mampu mengikis keegosentrisman.