Berbagi Cerita Gempa Jepang Bersama Mahasiswa Pertukaran dari Jepang

Oleh Ria Ayu Pramudita

Editor Ria Ayu Pramudita

BANDUNG, itb.ac.id - Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB melalui Ganesha Rescue mengadakan forum silaturahmi yang membahas mengenai gempa dan tsunami yang baru-baru ini melanda bagian timur laut (touhoku) Pulau Honshu, Jepang. Forum yang digelar pada Rabu (23/03/11) ini menghadirkan Yuya Kishimoto, mahasiswa pertukaran pelajar dari Waseda University dan Bandung Disaster Study Group (BDSG) yang mengupas gempa Jepang dari berbagai aspek.

Forum ini diawali oleh presentasi dari Mizan B. F. Bisri yang memperkenalkan BDSG, sebuah kelompok studi multidisipliner tentang bencana yang didirikan oleh para asisten Kelompok Keahlian (KK) Perencanaan Wilayah dan Pedesaan, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB. Mizan, yang pada saat gempa terjadi sedang berada di Jepang, menceritakan hasil pengamatannya mengenai reaksi masyarakat Jepang pada saat gempa terjadi. "Semua orang tenang. Kereta berhenti dan orang-orang keluar secara teratur. Tidak ada kepanikan," jelas Mizan. Hal ini tentu saja berbeda dengan orang-orang Indonesia pada saat gempa terjadi, di mana kepanikan dan insting untuk melarikan diri sangat kuat dan membuat keadaan sulit dikendalikan.

Perbedaan reaksi masyarakat ini, menurut Mizan, disebabkan oleh perbedaan tingkat pemahaman akan bencana, di mana masyarakat Jepang lebih paham bagaimana sebaiknya bertindak pada saat bencana terjadi. Pemahaman ini tentunya tidak datang begitu saja. Jepang telah lama memasukkan materi pendidikan tanggap bencana (disaster education) dalam struktur pendidikannya, sehingga sejak kecil masyarakat Jepang telah dipahamkan dan dilatih untuk bertindak dengan benar saat terjadi bencana. "Bagi Indonesia, yang memiliki potensi bencana yang mirip dengan Jepang, disaster education sangatlah penting," ujar Mizan seraya menekankan fakta bahwa Indonesia juga membutuhkan pendidikan tanggap bencana yang memadai bagi masyarakatnya.

Doutoku: Semangat Orang-orang Jepang untuk Tidak Egois

Presentasi berikutnya disampaikan oleh Yuya Kishimoto, seorang mahasiswa Waseda University yang sedang menjalani pertukaran pelajar ke Indonesia bersama dengan AIESEC. Yuya menceritakan sejarah panjang gempa di Jepang, yang memang terjadi cukup sering sepanjang tahun dengan kekuatan yang bervariasi. Tercatat beberapa gempa besar seperti gempa Kantou (1923) yang menyerang Tokyo dan sekitarnya dengan skala M7,9 dan gempa Hanshin (1995) yang menyerang Jepang Barat dengan kekuatan M6,9 yang telah membuat masyarakat Jepang banyak belajar. Tidak hanya untuk mencegah terjadinya gempa serta mengurangi dampak-dampak negatif dari gempa, namun secara emosional masyarakat telah banyak belajar untuk menanggapi bencana secara bijak.

Namun pada gempa Touhoku (2011) kali ini, Jepang kembali diuji dengan kekuatan gempa melebihi prediksi dan juga gempuran gelombang tsunami yang sangat tinggi dengan korban jiwa sekitar 20,000 orang. Kebocoran terjadi pada pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima. "Belum mencapai level yang membahayakan kesehatan manusia. Pemberitaan di sini memang agak berlebihan," terang Yuya dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah. Namun masalah yang tidak kalah penting adalah kerugian ekonomi yang sangat besar karena pemadaman bergilir yang dilakukan akibat kurangnya pasokan energi listrik. "Kerugiannya mencapai 16.000.000.000.000.000 rupiah," tulis Yuya dalam presentasinya.

Untuk menghadapi masalah tersebut, banyak usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, maupun kalangan sipil. Perusahaan kereta menurunkan jumlah kereta (listrik) yang beroperasi dan sejumlah pusat-pusat perbelanjaan memilih untuk tidak beroperasi. Bahkan iklan-iklan komersial di televisi sengaja dikurangi sebagai bentuk keprihatinan dan juga agar slot waktunya dapat digunakan untuk memberitakan perkembangan terkini dari bencana gempa tersebut. Media social networking semacam Twitter pun secara tidak langsung membantu, karena banyak masyarakat Jepang yang menggunakannya untuk berbagi informasi mengenai gempa dan pencarian korban-korban yang hilang.

Yuya menyatakan bahwa walaupun telah mengalami kerusakan yang cukup berat, Jepang cukup baik dalam menangani gempa Touhoku. Hal ini disebabkan oleh teknologi tepat guna yang telah diinstalasi dengan baik oleh masyarakat Jepang dalam infrastrukturnya. Bangunan-bangunan telah dirancang untuk tahan terhadap gempa dan sekolah-sekolah di penjuru Jepang telah dirancang sebagai shelter bagi penduduk jika gempa terjadi. "Namun di atas semua itu, yang paling penting adalah Japanese spirit," terang Yuya.

Masyarakat Indonesia yang Lebih Tanggap Bencana

Salah satu Japanese spirit yang dikenal dengan istilah doutoku adalah sebuah semangat dalam diri setiap masyarakat Jepang untuk mendahulukan orang lain. Hal ini dapat diamati dari beberapa contoh dari situasi nyata di Jepang pasca-gempa Touhoku: rendahnya tingkat penjarahan serta kondisi masyarakat yang tidak bergejolak dan bersabar walaupun kekurangan logistik. Japanese spirit yang lain adalah pantang menyerah, bahwa masyarakat Jepang optimis akan mampu membangung Jepang kembali dengan baik walaupun kerusakan parah telah terjadi.

Mizan dari BDSG menyatakan masyarakat Jepang memang telah melakukan percepatan pembangunan dan perkembangan teknologi setelah dihantam beberapa gempa besar, yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Indonesia sesungguhnya juga telah melakukan percepatan pembangunan dan perkembangan teknologi untuk menghadapi gempa, tetapi hal ini dilakukan setelah gempa tragis di Aceh pada tahun 2004 silam. Mizan kembali menekankan pentingnya disaster education, yang kemudian disambung oleh Yuya yang menyatakan pentingnya pendidikan budi pekerti demi kesiapan mental masyarakat yang lebih baik dalam menanggapi dampak-dampak dari bencana dan pulih kembali.