Bincang Cita Rasa Lokal Bersama Kuliah Tamu Prodi Rekayasa Hayati x Javara
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Keresahan akan ancaman kepunahan pangan istimewa nusantara menjadi faktor pendorong didirikannya Javara Indigenous Indonesia. Melalui kuliah tamu mata kuliah BE4208 Manajemen Bioindustri, Herlianti Hilman, sang Founder dan Executive Chairperson, menguraikan pengalamannya dalam mengembangkan startup berbasis hayati.
“Saya sebenarnya tidak punya latar belakang bisnis. Justru, saya lawyer yang diajak untuk mendengarkan cerita para petani yang dikriminalisasi oleh pihak-pihak asing karena tidak paham dengan kontrak yang diajukan,” kata Helia untuk memulai sesi pemaparannya pada Senin (21/2/2022).
Melalui interaksi tersebut, ia mulai jatuh hati pada keberagaman cita rasa lokal yang mulai dilupakan banyak orang. Dari sana, koleksi demi koleksi tanaman pangan Indonesia pun ia tanam di taman rumah untuk memenuhi kecintaanya terhadap dunia kuliner. Melihat antusiasme Helia, para petani juga mengungkapkan harapannya untuk mewariskan pangan khas Indonesia kepada generasi-generasi selanjutnya. “Menurut saya, solusinya adalah membawa dan mengenalkannya kepada pasar agar bisa berkelanjutan,” sambungnya.
Meskipun demikian, sulitnya membangun bisnis menjadi tantangan berikutnya yang harus dihadapi. Di awal perjalanannya, pasar yang sejak awal didambakan ternyata belum terbentuk. Bahkan, Herlia sempat menganggap impiannya untuk mengenalkan pangan Indonesia hanya romantisme belaka, bukan bisnis yang prospektif.
“Javara mau membawa isu diet yang telah lama menjadi problematika. Tetapi realitanya, pasar senang dengan makanan yang enak,” sebutnya.
Pengetahuan akan hal itu kemudian Javara kembangkan untuk menghasilkan berbagai produk variatif yang tidak hanya nikmat di lidah, namun juga sehat. Selain itu, dengan membawa narasi kesempatan berdampak dan memberdayakan petani, Javara terus eksis untuk menonjolkan eksotisme produk hayati Indonesia, bahkan di kancah global. Ia menyebut, bahwa kini, bisnisnya telah melahirkan lebih dari 900 macam produk yang juga telah diekspor ke 28 negara.
Menurutnya, prestasi tersebut mampu dicapai karena Javara dapat menyesuaikan dengan apa yang dibutuhkan pasar, atau market fit. Lebih lanjut, hal krusial yang harus mampu dimiliki adalah kemampuan untuk berpikir kreatif dalam mencari solusi di tengah keterbatasan.
“Javara bukan berbasis industrial tetapi tetap bisa menembus sektor global. Kuncinya, kalau produk kita tidak punya keunikan dan relevansi dengan pasar, orang akan adu murah, dan Indonesia tidak akan bisa survive dengan cara itu,” katanya.
Herlia kemudian membagikan berbagai kiat inovasi dan branding agar bioproduk dapat diterima oleh pasar. Strategi membangun narasi merupakan salah satu yang ia jelaskan kepada para peserta kuliah tamu. Dengan adanya cerita yang ditonjolkan, tentu, konsumen akan merasakan sebuah emosi yang menghubungkannya dengan makanan yang dibeli. Misalnya, Javara mereposisikan petani sebagai mata rantai proses produksi, bukan sekadar pemasok bahan baku. “Petani menjadi ikon yang punya andil sebagai ‘artis pangan’ Javara,” sebut Herlia dengan bangga.
Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)