Cairan Ionik, Terobosan Baru untuk Bahan Baterai Smartphone yang Lebih Aman

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id—Pernah mendengar atau menemukan berita tentang bateri telepon genggam yang meledak? Peristiwa tersebut dijelaskan secara kimia dalama cara Workshop Series, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB), Rabu (23/3/2022) lalu.

Sebagai narasumber pada webinar tersebut yaitu Dosen Peneliti Tidak Tetap, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung, Kiki Adi Kurnia, Ph.D. Dia menjelaskan terkait “Cairan Ionik Sebagai Pelarut Desainer untuk Kimia Hijau (Ionic liquids - Designer Solvents for Green Chemistry)”.

Sebelum membahas tentang bagaimana baterai smartphone bisa meledak, Kiki menjelaskan tentang sebuah profesi di bidang Kimia yang cukup unik yaitu Desainer Molekuler. “Seorang desainer molekuler bertugas untuk mendesain berbagai jenis bahan-bahan Kimia agar dapat memiliki manfaat dan fungsi yang lebih baik,” kata Kiki.

Ia adalah seorang desainer molekuler. Salah satu bahan kimia yang ia desain adalah bahan elektrolit yang digunakan pada smartphone. Reaksi yang dapat dihasilkan oleh elektrolit di dalam sebuah ponsel genggam adalah kenaikan suhu bahkan meledaknya sebuah telepon genggam. Biasanya kasus ini terjadi pada telepon genggam yang diletakkan pada tempat bersuhu tinggi, misalnya di dalam mobil.

“Hal yang harus dilakukan seorang desainer molekuler adalah mencari cara untuk mengatasi kasus telepon genggam yang meledak agar tidak terjadi kasus tersebut lagi,” papar Kiki.
Elektrolit pada telepon genggam berada pada bagian baterai yang berfungsi untuk membatasi anoda dan katoda. “Kasus ledakan pada telepon genggam terjadi saat telepon digunakan terlalu lama hingga mengalami kenaikan suhu atau karena diletakannya telepon genggam pada tempat yang panas. Dua kegiatan tersebut yang dapat membuat elektrolit pada baterai mengering dan menguap. Semakin kering elektrolit, maka posisi katoda dan anoda semakin mendekat. Ketika katoda dan anoda bertemu, ledakan pada telepon genggam, terjadi,” ujar Kiki.

Maka dari itu, Kiki melakukan penelitian untuk mendesain elektrolit yang lebih aman dan tidak mudah meledak. “Salah satu bahan yang saya gunakan untuk mendesain elektrolit yang lebih baik adalah ionic liquid atau cairan ionik. Cairan ionik ini memiliki konduktivitas yang tinggi. Maka dari itu, cairan ionik ini menjadi tidak mudah menguap dan terbakar,” pungkas Kiki. Selain itu, ia juga memaparkan bahwa sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pemanfaatan ionic liquid juga dapat meningkatkan efisiensi kinerja dari baterai. Cairan ionik juga memiliki titik leleh yang tinggi yaitu di angka 700 hingga 800 derajat celcius.

Proses desain cairan ionik juga harus melalui tahap penurunan titik leleh pada senyawa ionik. Sebagai contoh, NaCl didesain agar ikatannya lemah dengan cara mengubah Cl menjadi Br yang menghasilkan senyawa NaBr yang titik lelehnya turun menjadi 700 derajat celcius. Selanjutnya dilakukan lagi penyatuan ion lain seperti 1-butyl-3-methylimidazolium. Ukuran dari ion tersebut sangatlah besar, sehingga dapat melemahkan ikatan anion dan kation. Ketika ikatan ion menjadi tersebut lemah, maka titik leleh akan turun sangat drastis. Bahkan, beberapa cairan ionik memiliki fase cair pada suhu kamar. “Hal ini sangat menguntungkan karena kita tidak perlu bekerja pada suhu yang terlampau tinggi,” jelas Kiki.

Tantangan dari proses mendesain cairan ionik adalah banyaknya jumlah kation, anion, gugus fungsional, dan rantai samping. Banyaknya jumlah dari kation, anion, gugus fungsional, dan rantai samping tentunya akan membuat penelitian menjadi rumit, kompleks, dan lama. Namun, proses desain cairan ionik ini dapat dilakukan dengan cepat melalui pendekatan komputasi. “Melalui pendekatan komputasi ini, penelitian yang tadinya dapat memakan waktu hingga 10 tahun dapat dipermudah dan diefisienkan hingga hanya membutuhkan 2 hari,” ungkap Kiki.

Selain itu, Kiki juga melakukan penelitian lain yaitu mendesain cairan ionik sebagai pelarut untuk produk gas metana. “Di alam, gas metana selalu berdampingan dengan CO2. Namun, dalam produksi gas metana, CO2 harus dipisahkan menggunakan alkanolamine,” papar Kiki. Dalam kasus pemisahan ini, cairan ionik berperan vital untuk memisahkan CO2. Bahkan, cairan ionik juga dapat bermanfaat untuk proses ekstraksi bahan alam seperti antioksidan untuk berbagai jenis produk.

“Melalui penelitian ini, kesimpulan yang didapat adalah terbuktinya cairan ionik sebagai bahan kimia yang aman, tidak bersifat korosif, dan juga dapat meningkatkan efisiensi produksi,” jelas Kiki.

Reporter: Yoel Enrico Meiliano (Teknik Pangan, 2020)

Sumber foto: freepik