Urgensi Menjaga Ketersediaan Air Bersih yang Aman di Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Vera Citra Utami
*Foto: Freepik
BANDUNG, itb.ac.id – Urgensi menjaga ketersediaan air bersih yang aman di Indonesia menjadi topik yang diangkat dalam Webinar Kelompok Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB. Webinar tersebut menghadirkan Prof. Ir. Suprihanto Ph.D., dan Ir. Yuniati, Ph.D., selaku narasumber dengan moderator Rofiq Iqbal, Ph.D.
Sesi pertama, Prof. Suprihanto memaparkan mengenai kondisi dan tantangan air bersih yang aman di Indonesia. Ia mengungkapkan, berdasarkan data WHO, 19% penduduk dunia memiliki sumber air yang tidak aman. Selain itu 829.000 orang setiap tahun meninggal dikarenakan diare akibat air yang tidak aman dan sanitasi yang buruk. Berdasarkan data Bappenas tahun 2018 akses air minum layak di Indonesia adalah sebesar 87,75% dengan 6,8% adalah akses air minum aman.
“Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara penyediaan air minum dengan daya saing bangsa. Sumber air minum yang kurang menyebabkan daya saing yang rendah. Banyak masyarakat menghabiskan uangnya untuk berobat dan membeli air. Masyarakat yang sakit tentu produktivitasnya rendah,” ujar Prof. Suprihanto, Kamis, 30 Juli 2020 saat menjadi pembicara dalam webinar tersebut.
Di Indonesia sendiri penghasil utama air bersih adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan kapasitas produksinya saat ini sebesar 153.881 L/detik mencakup 19%-20% kebutuhan dasar Indonesia dengan efisiensi produksi 72,97% dan kebocoran sebesar 32,57%.
Potensi sumber daya air di Indonesia saat ini masih cukup besar. Untuk Pulau Jawa sendiri masih dapat memenuhi kebutuhan domestik dan industri jika potensi sumber daya air digunakan dengan baik. Hanya saja untuk pemenuhan air irigasi memang cukup sulit. Pemanfaatan sumber daya ini tentu membutuhkan biaya yang besar.
Selain masalah jumlah, dijelaskan Prof. Suprihanto, Indonesia juga menghadapi masalah kualitas air permukaan, di mana 52% sungai sudah tercemar berat. Jika hanya mengandalkan air permukaan tentu tantangannya besar, termasuk penyediaan teknologi pengolahan air. “Oleh sebab itu, pemanfaatan air tanah sebagai sumber air baku tentu diperlukan dengan tetap memelihara air tanah itu sendiri karena air tanah adalah reservoir alami yang relatif gratis jika dibandingkan dengan reservoir buatan,” jelasnya.
Pada sesi kedua, Yuniati memberikan pemaparan tentang bagaimana meningkatkan akses air minum layak dan aman di Indonesia. Pemerintah sendiri sudah menjadikan pengelolaan air tanah, air baku yang berkelanjutan dan penyediaan akses air minum, serta sanitasi yang layak dan aman ke dalam prioritas nasional. Dengan target, Air minum layak 100%, air minum aman 15%, dan akses air minum perpipaan 30%.
“Untuk mencapai target 100% akses air minum layak pada 2024, melalui program 10 juta sambungan rumah, indikasi pendanaan APBN adalah Rp77,9 triliun dari total kebutuhan Rp123,5 triliun. Sayangnya dengan kondisi pandemi COVID-19 saat ini, ada pengurangan dana APBN menjadi Rp35 triliun. Salah satu cara mengisi gap pendanaan ini adalah melalui optimalisasi dana APBD termasuk di dalamnya adalah dana desa,” ujarnya.
Selain berdampak kepada pendanaan, kondisi pandemi COVID-19 juga memberikan dampak kepada peningkatan pemakaian air domestik. Yuniati mengatakan, studi kasus di Bandung pada April sampai Juni menunjukkan penggunaan air domestik sebesar 163 L/orang/hari untuk Kota Bandung dan Cimahi lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar untuk Indonesia yaitu sebesar 120 L/orang/hari. Peningkatan ini dikarenakan kegiatan di rumah yang meningkat sehingga penyediaan air bersih saat ini semakin urgent.
Saat ini sekitar 46% masyarakat Indonesia memanfaatkan air tanah sebagai sumber air bersih. Namun, melalui survei air tanah dangkal untuk parameter Fe, Mn, COD, TDS dan E Coli di 10 lokasi di Jakarta diperoleh kondisi seperti pada gambar, dimana semakin gelap warnanya potensi pencemarannya semakin tinggi.
“Melihat kondisi saat ini, perlu dilakukan kerja sama antara perguruan tinggi dengan industri untuk mengembangkan teknologi penyediaan air minum skala komunal yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing, sehingga teknologi yang diciptakan bisa langsung digunakan di tempat,” ungkapnya.
Selain melalui teknologi, perubahan perilaku masyarakat juga sangat diperlukan. “Jika perlu anak TK dan SD diajak mengunjungi PDAM dan dijelaskan proses pembuatan air bersih dan besarnya effort yang diperlukan, sehingga anak-anak menjadi sadar dan lebih menghemat air sejak dini,” pungkas Yuniati.
*Webinar ini dapat ditonton ulang melalui tautan: https://www.youtube.com/watch?v=zZjBFgVZbhM
Reporter: Indah Lestari Madelin (Teknik Lingkungan, 2016)